Sabtu, 01 Oktober 2011

Ngidam dalam Tinjauan Syariat

Penjelasan Syaikh Muhammad Ali Farkus:
Ngidam (al-wahmu) sudah dikenal secara bahasa, yaitu sesuatu yang diinginkan oleh wanita yang sedang hamil. sebagaimana yang disebutkan al-Jauhari dalam kitab as-Shihah (5:2049), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (5:162), dan Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah (6:93) serta beberapa pakar bahasa lainnya.
Akan tetapi, anggapan yang banyak tersebar di masyarakat kita saat ini bahwa wanita hamil yang menginginkan sesuatu, jika tidak dipenuhi keinginannya maka nantinya akan keluar bentuk tertentu dari badan anak yang dilahirkan sesuai dengan yang diinginkan ibunya, (atau anak ini akan menjadi anak yang kurang normal, karena suka mengeluarkan liur). Terkait keyakinan ini, saya belum mengetahui adanya keterangan apapun dalam syariat tentang hakekat ‘bentuk sesuatu yang keluar dari badan bayi’ sebagaimana yang disampaikan. demikian pula saya tidak tahu kebenaran anggapan ini melalui informasi yang sampai kepada saya.
Hanya saja, hal ini terkenal di kalangan para wanita. apabila kita menerima anggapan ini, bahwa jika tidak memenuhi keinginan wanita itu akan menimbulkan dampak buruk maka kita wajib mencegah terjadinya dampak buruk semacam ini, dengan berusaha mewujudkan apa yang diinginkan wanita hamil. ini dalam rangka mengamalkan kaidah:
“Menolak dampak buruk itu lebih diutamakan dari pada mewujudkan satu kemaslahatan.”
Akan tetapi, jika hal ini tidak memberikan dampat buruk maka tidak boleh kita nyatakan hukumnya wajib untuk memenuhi keinginan wanita yang ngidam, selain sebatas untuk mewujudkan rasa kasih sayang antar-suami istri. karena jika hal ini wajib, tentu akan ada dalil yang menjelaskannya dan tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan penjelasan yang jelas karena keterangan semacam ini dibutuhkan dan termasuk perkara yang tersebar di masyarakat. Sementara segala sesuatu yang menimbulkan dampak buruk kepada hamba, pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkannya. Karena beliau adalah orang yang telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah… (40 Sualan fi Ahkam al-Maulud, hal. 102 – 103).
Penjelasan Syaikh Munajid
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…
Pertama, ‘ngidam’ yang dialami oleh wanita yang sedang hamil, terutama di awal kehamilan merupakan fenomena yang diakui secara kedokteran, sebagai salah satu dampak kehamilan…. umumnya wanita yang hamil memiliki tabiat yang aneh di masa awal kehamilannya. Ada yang begitu suka dengan suami dan bau suami, dan ada yang sebaliknya, ada yang suka makan es, bahkan ada yang suka makan arang! Dan kondisi psikologis yang aneh lainnya, yang tidak mungkin bisa disebutkan semuanya… karena itu, selayaknya anggota keluarga memperhatikan keadaan orang hamil yang sedang ngidam, dengan berusaha meminimalisir segala kemungkinan yang akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Kasus ngidam yang terjadi pada wanita hamil ini telah membingungkan ahli medis. Ada berbagai macam komentar dan pendapat yang mereka sampaikan. Mereka kesulitan memahami fenomena semacam ini. Ada sebagian pakar kedokteran yang mnyebutkan bahwa diantara terapi yang mungkin bisa dilakukan adalah menghindari terlalu banyak berpikir atau menginginkan sesuatu.
Apapun itu, ngidam adalah perkara yang hakiki, dan tidak bisa diingkari hal ini terjadi pada kehidupan wanita hamil, juga tidak dinafikan secara medis. Karena itu, bagi anggota keluarga hendaknya memberikan penanganan yang sesuai untuk wanita hamil, dengan catatan, jangan sampai mengizinkan untuk makan makanan yang haram atau yang membahayakan, seperti arang, rambut. Kemudian bisa diarahkan untuk mengkonsumsi makanan yang lain, atau diarahkan untuk bisa dekat dengan suaminya dan anak-anaknya. Karena banyak terjadi perceraian di awal kehamilan, sebabnya adalah suami tidak memahami kondisi istrinya yang sedang ngidam atau tidak mampu memberikan penanganan yang sesuai bagi wanita ngidam.
Kedua, hal terbaik yang bisa kami nasehatkan untuk dijadikan terapi kondisi psikologis bagi wanita ngidam adalah al-Quran. Allah menjadikan al-Quran sebagai petunjuk dan obat. Allah berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَاراً
“Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-Isra’: 82)
Syaikh as-Sinqithi mengatakan:
Firman Allah dalam ayat ini : [مَا هُوَ شِفَآءٌ ] “menjadi obat”, mencakup semua fungsi obat, baik bagi penyakit hati, seperti keraguan, kemunafikan, dan yang lainnya, maupun untuk badan, dalam bentuk ruqyah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih tentang sahabat yang meruqyah orang yang tersengat binatang berbisa dengan membacakan surat al-Fatihah. (Adhwaul Bayan, 3: 253)

Allahu a’lam
Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/108533/%D9%88%D8%AD%D9%85
Beberapa catatan penting yang bisa kita simpulkan dari dua keterangan di atas:
  1. Ngidam bagi wanita hamil bukan hayalan, bukan khurafat, bukan sekedar sugesti, tapi ada dan terbukti secara kenyataan.
  2. Proses ngidam diakui secara kedokteran sebagai reaksi dari awal kehamilan. Hanya saja, untuk sementara ini belum ada kesimpulan yang bisa dijadikan acuan untuk memahami hakekat ngidam.
  3. Islam tidaklah menolak realita. Meskipun tidak terdapat keterangan dari syariat tentang ngidam, bukan berarti bahwa islam menganggap hal itu tidak ada. Dengan demikian, meyakini kebenaran dan keberadaan ‘ngidam’ bukan keyakinan khurafat tanpa dasar. Karena itu, meyakini adanya ngidam tidak termasuk penyimpangan dalam pemahaman.
  4. Mengakaitkan ngidam dengan keinginan jabang bayi atau meyakini adanya dampak yang timbul ketika ngidam tidak dipenuhi, adalah anggapan yang perlu dikritisi. Karena kita tidak boleh meyakini sesuatu tanpa dasar. Meyakini sesuatu tanpa dasar, baik secara syariat, realita, mapun bukti ilmiyah adalah keyakinan khurafat yang terlarang.
  5. Yang lebih penting, hendaknya pihak keluarga, terutama suami memberikan perhatian yang terbaik untuk wanita yang sedang hamil. Terutama pada masa ngidam. Sikap cuek, tidak peduli, tidak perhatian, bisa jadi justru akan menimbulkan masalah baru.
  6. Kita yakin bahwa setan tidak tinggal diam dalam hal ini, mengingat semangat mereka untuk membinasakan anak Adam. Karena itu, bisa jadi ada wanita ngidam untuk hal yang bertolak belakang dengan syariat, seperti ingin makan makanan yang haram atau makanan yang berbahaya. Kewajiban keluarga adalah melarangnya dan tidak boleh dipenuhi. Sebagai solusi bisa diganti dengan sesuatu yang halal.
  7. Ngidam benci suami. Ini satu hal yang tidak diingkari. Karena itu, hendaknya masing-masing berusaha saling memahami dan mencari solusi terbaik.
  8. Syaikh Muhammad al-Munajid ditanya wanita yang sangat benci anaknya ketika ngidam. Baliau mengatakan:
    “Kami tidak heran dengan apa yang terjadi pada ibu terhadap putrinya. Karena itu, selayaknya pihak keluarga memberikan perhatian dan memberikan solusi yang tidak menimbulkan masalah bagi ibu atau menyebabkan hilangnya kasih sayang kepada putrinya atau si ibu menyakiti putrinya. Karena itu, sebagai solusi hendaknya keluarga mencarikan tempat yang sesuai untuk putrinya, selama masa ngidam ibunya.” (islamqa.com)
  9. Terapi dan pengobatan secara syar’i adalah dengan ruqyah.
Allahu a’lam
***
muslimah.or.id
penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits

Senin, 26 September 2011

Berdialog Dengan Teroris

( Belajar dari Pengalaman Arab Saudi dalam Menumpas Terorisme)
Pengantar
Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat. 1
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Ibnul Qayyim mengatakan: “Godaan syubhat ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.”2 Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudud, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudud untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudud, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasehati pemilik syubhat agar bisa kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasehat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Ibnu Abbas – radhiyallah ‘anhuma – yang mendatangi kaum Khawarij untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang tobat dari kesalahan pemikiran mereka.3 Juga kisah Jabir bin Abdillah – radhiyallah ‘anhuma – yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jabir tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah Jabir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah Ibnu Abbas.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, dan kembali ke pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah yang mendekatkan diri mereka kepada Allah dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menawarkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi .

Arab Saudi dan Terorisme
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Ladin akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Provinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Koran ASHARQ AL-AWSAT telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi 4. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme didukung oleh negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Makkah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektifitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi teror.
Di samping itu ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munashahah (Komite Penasehat).

Apa itu Lajnah al-Munashahah?
Lajnah al-Munashahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (dibawah komando Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasehat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah memulai kegiatannya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi.5
Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
  1. Lajnah ‘Ilmiyyah (komisi ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syari’ah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
  2. Lajnah Amniyyah (komisi keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah yang sesuai jika ternyata masih dinilai berbahaya.
  3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (komisi psikologi dan sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
  4. Lajnah I’lamiyyah (komisi penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat. 6

Teknik dialog
Hampir tiap hari Lajnah al-Munashahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasehat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, pejanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab.7
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya.8
Mereka segera menyadari bahwa dialog ini justeru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat di pikiran meraka. Rupanya mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan merekapun dengan senang hati meminumnya.9
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini Lajnah al-Munashahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah.10
Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.
Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama.11

Program dan Sarana Penunjang
Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan melakukan kegiatan refreshing.
Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk dengan tanggung jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk kembali ke aktifitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan menjaga agar keberhasilan munashahah (upaya untuk menasehati) di penjara tidak pudar di rumah.12
Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di pusat-pusat pembinaan berupa villa-villa peristirahatan tertutup yang memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed Bin Naif Center for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan, ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku tertentu dengan pengawasan.13

Sangat Berhasil, Tapi Kadang Gagal
Program munashahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa. Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti dialog.
Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo yang telah mengikuti program munashahah mengatakan bahwa program ini telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah memetik faedah yang besar. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih atas diadakannya program yang penuh berkah ini.14
Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allah tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah disampaikan. Sebabnya bisa jadi karena pemikiran takfir sudah mendarah daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa yang disampaikan Lajnah Munashahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan batin.15
Menurut Abdul Aziz al-Khalifah, anggota Lajnah al-Munashahah, ada tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya. Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra.16
Namun kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi, pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan dengan pemikiran17. Dunia internasionalpun mengakui keberhasilan ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau “Kekuatan Yang Lembut”. Sudah banyak pula negara yang belajar dari pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka.18

Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktekkan di Arab Saudi insyaallah juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran! Wallahu a’lam.

1 Bi Ayyi ‘Aqlin wa Din Yakunu at-Tafjiru Jihadan?, Syaikh Abdul Muhsin al-Abad, hal. 3, at-Tahdzir min asy-Syahawat, ceramah Dr. Sulaiman ar-Ruhaili.
2 Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim 2/167
3 Sunan al-Baihaqi 8/179.
4 Koran ASHARQ AWSAT edisi 9297, 12 Mei 2004.
5 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Koran al-Riyadh edisi 13.682.
6 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
7 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
8 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.
9 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.
10 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.
11 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Koran al-Riyadh edisi 13.682.
12 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
13 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com
14 Koran al-Riyadh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com.
15 Koran al-Riyadh edisi 14.848
16 Koran al-Riyadh edisi 14.848.
17 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257
18 Koran al-Riyadh edisi 15.042.

Penulis: Anas Burhanuddin, Lc., MA.
Artikel Muslim.Or.Id

Buah Tauhid, Sudahkah Ada Pada Diri Kita?

Memahami tauhid perkara yang sangat mulia. Lebih dari itu, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak kalah mulianya, bahkan itulah tujuan seorang mempelajari tauhid melalui kitab-kitab para ulama. Seringkali, kita lupa bahwa tauhid bukan sekedar wacana yang cukup untuk didiskusikan dan dibaca berulang-ulang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat : 55). Saudaraku sekalian –semoga Allah menambahkan nikmat Islam dan Sunnah kepada kita- apabila kita kaji lebih dalam dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang, sesungguhnya faidah mempelajari tauhid sangatlah banyak. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu manfaat dari tauhid adalah ia akan menjadi pilar terbesar untuk membangkitkan kemauan menjalankan ketaatan. Sebab, seorang yang bertauhid akan mempersembahkan amalnya tulus karena Allah subhanahu wa ta’ala. Karena dorongan itulah maka dia akan tetap beramal dalam keadaan sepi/sendirian maupun ketika berada di depan orang/terang-terangan. Sedangkan orang yang tidak bertauhid –misalnya orang yang riya’- maka dia akan melakukan amal sedekah, shalat dan berdzikir hanya jika di sisinya terdapat orang yang melihatnya. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya saya sangat ingin mengerjakan suatu ketaatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Dia” ” (al-Qaul al-Mufid, jilid 1. attasmeem.com).
Ikhlas, menuntut perjuangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan untuk-Nya, dengan lurus [bertauhid]…” (QS. al-Bayyinah : 5). Ibadah tidak akan diterima jika tidak ikhlas. Sebagaimana ia tidak akan diterima jika dilakukan dengan cara yang salah. Seorang yang menginginkan agar amalnya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan berusaha mempelajari ilmu tentang ibadah yang akan dia jalani. Setelah mengetahui ilmu tersebut maka dia pun akan berusaha untuk menerapkannya. Kemudian apabila lupa, maka dia pun kembali membuka bukunya, mengingat-ingat tata cara dan bacaan doa yang luput dari ingatannya. Demikianlah seterusnya, sampai dia berhasil meniru tata cara beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Mungkin diperlukan waktu yang tidak sebentar, sepekan dua pekan, sebulan dua bulan, atau bahkan setahun lamanya sampai dia benar-benar bisa melakukannya dengan baik dan sempurna. Demikianlah ketika seorang ingin menjadikan ibadahnya persis sebagaimana dituntunkan oleh Nabi-Nya.
Maka tidak berbeda halnya dalam hal keikhlasan. Untuk mendapatkan keikhlasan dalam beribadah maka seorang hamba harus senantiasa belajar dan belajar, mengingat-ingat dan merenungkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membaca ayat-ayat al-Qur’an, menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca keterangan-keterangan para ulama. al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Kitab al-‘Ilm dalam Shahihnya dengan judul ’Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Apa yang beliau kemukakan sangatlah tepat! Dan tidak cukup berhenti di situ saja, setelah mengetahui ilmunya, maka orang masih harus melakukan perjuangan berikutnya yaitu agar ikhlas itu benar-benar terwujud dalam dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-Ankabut : 69).
Pentingnya ilmu ikhlas
Kita semua tahu bahwa untuk berwudhu yang benar ada ilmunya. Untuk shalat yang benar ada ilmunya. Untuk berpuasa yang benar ada ilmunya. Demikian pula untuk menunaikan ibadah-ibadah lain dengan benar pun ada ilmunya. Namun hendaknya kita juga ingat bahwa ternyata ikhlas pun ada ilmunya. Bagaimana tidak? Sementara ikhlas itulah tujuan hidup kita, untuk mengajak kepada keikhlasan itulah para rasul dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang mengajak] sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36).
Salah satu bukti pentingnya ilmu ikhlas ini adalah apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin fil hadits Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, an-Nawawi, dan Syaikh as-Sa’di rahimahumullah yang memulai kitab mereka dengan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’. Anda bisa melihat hal itu dalam Sahih Bukhari, hadits yang pertama. Umdat al-Ahkam hadits yang pertama. al-Arba’in an-Nawawiyah, hadits yang pertama. Bahjat al-Qulub al-Abrar, hadits yang pertama. Para ulama terkemuka itu menempatkan hadits ‘Innamal a’maalu bin niyaat’ sebagai hadits pertama dalam kitab-kitab mereka. Tentu saja hal itu menunjukkan betapa pentingnya kandungan hadits tersebut yang tidak lain adalah ajaran keikhlasan beribadah untuk Allah ta’ala.
Buah tauhid itu (baca: ikhlas) sudah ada dalam diri kita?
Menilai orang lain sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun, ketika kita berusaha untuk menilai diri sendiri terkadang kita mengalami kesulitan. Sebagian orang –yang tertipu- merasa bahwa dirinya sudah ikhlas padahal dia belum ikhlas. Sebagian orang yang lain berjuang untuk meraih keikhlasan namun dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan, sampai-sampai banyak kewajiban dan ibadah yang ditinggalkannya demi mendapatkan apa yang dia anggap sebagai keikhlasan. Dia meninggalkan amal karena takut dikatakan sebagai orang yang riya’. Sebagian lagi berusaha untuk ikhlas, namun godaan dan rintangan kerapkali menyeretnya ke tepi-tepi jurang kemunafikan. Ketika bersama orang banyak begitu bersemangat, namun ketika sendirian maka lenyaplah gairahnya untuk beramal. Aduhai, termasuk kelompok yang manakah kita?
Saudaraku, perlu kita sadari bahwa riya’d alam beramal merupakan akhlak yang sangat tercela. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Riya’ adalah akhlak yang sangat tercela dan ia termasuk ciri orang munafik.” (al-Qaul al-Mufid, jilid 2. at-tasmeem.com). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka (orang-orang munafik) hendak mendirikan shalat, maka mereka lakukan dengan rasa malas. Mereka ingin amalnya dilihat oleh manusia (riya’), dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. an-Nisaa’: 143).
Sebenarnya apa sih yang kita harapkan dalam hidup ini? Bukankah kitaberharap Allah menerima amal-amal kita? Bukankah kita juga berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita? Bukankah kita juga berharap kelak Allah memasukkan kita ke surga dan menyelamatkan kita dari api neraka? Bukankah kita juga tahu bahwa hanya Allah yang bisa memenuhi harapan-harapan kita tersebut? Kita pun tahu bahwa tak seorang pun manusia yang menguasai pemberian rezeki, kehidupan, kematian, surga dan neraka selain Allah semata? Lalu mengapa kita tertipu oleh pujian manusia, dukungan mereka, senyuman mereka dan kedudukan mereka? Apa yang bisa kita harapkan dari manusia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya apa-apa yang kalian seru (ibadahi) selain Allah itu hanyalah hamba [yang lemah] sebagaimana kalian.” (QS. al-A’raaf : 194). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap untuk berjumpa dengan Rabbnya maka lakukanlah amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun [dengan Allah] dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi : 110).
Cukuplah Allah sebagai saksi atas amal-amal kita! Alangkah meruginya apabila kita mengalami nasib buruk seperti tiga golongan orang yang diadili pertama kali pada hari kiamat nanti. Mereka berjihad, menimba ilmu serta mengajarkannya, rajin berderma; namun ternyata mereka riya’. Dan oleh karena dosa itulah Allah tak segan-segan untuk mencampakkan mereka ke dalam neraka, wal ‘iyadzu billah! Semoga Allah menjaga diri kita dari syirik yang tersembunyi, dan semoga Allah mencabut nyawa kita dalam keadaan kita mengabdi kepada-Nya semata; bukan mengabdi kepada dunia ataupun hawa nafsu manusia. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 20 Muharram 1430 H

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Selasa, 26 Juli 2011

Mengumbar Kemesraan di Facebook & Blog (Website)

26 07 2011
facebook_icon
facebook_icon
Berikut adalah diskusi kami perihal “MENGUMBAR KEMESRAAN DI FACEBOOK…” Bukanlah yang kami bahas di sini kemesraan anak – anak muda yang berpacaran, karena tentu jelas bagi mereka keharamannya. Akan tetapi yang di sini sedang kami bahas adalah kemesraan suami – istri yang sengaja mereka ekspos di Facebook.
……….
Akhi Teguh Prihattanto memberikan statement-nya setelah ditanyakan kepada al ustadz Fuad Hamzah Baraba’, dosen STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya.
Bismillah … Afwan agak mengungkit lagi …
Walhamdulillah tadi subuh sudah ana tanyakan kepada salah ustadz pengajar STAI ALi bin Abu THalib Surabaya, dengan Ustadz Fu’ad Hamzah Baraba’
Penjelasan beliau ana rangkum dan ana sampaikan dengan bahasa ana, dan sedikit tambahan untuk penjelasan dari ana pribadi …
Ana tanyakan kepada beliau masalah suami istri yang sama² punya akun fb dan saling menulis sesuatu sepertii “Sayang sudah makan ..?? “Sayang anak² sudah bangun …??” .. atau “Sayang aku merindukanmu” (bagi yang terpisah jarak yang agak jauh dan ini tambahan dari ana)
Beliau menyampaikan, pada dasarnya apa yang dimaksud bermesraan disini ..?? Harus diberikan batasannya, apakah sampai dengan batas yang dilarang hingga seperti menceritakan hubungan suami istri atau menceritakan ciuman dll ..?? atau sekedar sewajarnya seperti saling menyapa dll …?? Bisa jadi orang lain menganggap biasa bisa jadi menganggap mesra … maka perlu diperinci perbuatan yang dimaksud bermesraan disini, bagi orang fasiq berciuman di tempat umum bagi mereka biasa dan mungkin kemesraan bagi yang biasa melakukannya, bagi kita mungkin sesuatu hal yang tidak etis dan menganggap tidak punya rasa malu.
Kemudian beliau juga menganjurkan jika suami istri sebaiknya tidak menulis hal² yang dirasa pribadi yang bisa dibaca oleh semua orang atau kalangan, skrg kan sudah ada sms … atau inbox … dan hendaknya lebih baik seperti itu . (untuk poin ini pendapat dek didit memang benar)
Apakah hal tersebut diatas termasuk dalam bermesraan di tempat umum ? beliau kembali kepada bermesraan yang bagaimana yang dimaksud ..?? jika hanya berpegangan tangan , atau canda suami istri yang wajar maka Insya ALLOH tidak mengapa. Selama tidak berlebihan seperti Suami istri berciuman di tempat umum, atau jika kasus di FB mungkin seperti chatting yang berbau mengarah kepada porno atau sejenisnya, atau saling menyapa dengan menceritakan aurat istri atau suaminya seperti “Sayang baumu tadi pagi harum sekali … jadi pengen cepat pulang … ” :D dan sejenisnya … adapun seperti hal ini beliau menganjurkan seperti poin diatas tadi .. lebih baik diketahui suami istri.
Kemudian, jika ada yang melihat kata² mesra antar suami istri di FB kemudian membuat iri bagi yang belum menikah apakah termasuk dzhalim ? Belia menyampaikan sesungguhnya kemungkinan yang iri adalah orang yang belum mampu menikah atau belum bisa menikah, tetapi mungkin hal tersebut bisa juga menjadikan orang lain untuk segera menikah demi menjaga diri dan kemaluannya.
Apakah orang yang menulis di FB yang dimaksud tadi ( dianggap bermesraan antar wall suami istri) dianggap seperti syaitahn laki² dan perempuan yang berhubungan di jalan dan dilihat orang lain seperti yang disabdakan Rasulullah ..?? Beliau menjelaskan, jika tidak sampai menceritakan hubungan suami istri yang detail seperti bagaimana mereka berciuman, jima’ dll Insya ALLOH tidak sampai dihukumi seperti itu, karena yang dimaksud dalam hadits itu adalah menceritakan hubungan jima’ suami atau istri setelah mereka berhubungan kepada orang lain, dan disisi lain Imam An Nawai dan Imam Asy Syaukani juga menjelaskan tentang hal itu … (lihat link yang ana berikan)
Kemudian apakah bermesraan yang dimaksud jika seperti Rasulullah memuliakan istri² beliau seperti hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik (amula beliau) tentang Rasulullah berjalan menuntun Shofiyyah dan memakaikan Mantel kulit serta menaikkan Shofiyyah ke unta dengan berdiri di paha Rasulullah .. maka hal ini adalah termasuk memuliakan istri … :) dan dianjurkan Insya ALLOH … (dan lihatlah hal ini dilakukan di tempat umum) … :)
Kesimpulannya :
1. Bagi suami istri hendaknya saling menjaga hubungan mereka dengan sewajarnya di tempat umum, dan jika ada keperluan yang bersifat pribadi hendaknya tidak terbuka dan dibaca oleh orang lain, bisa lewat sms atau inbox.
2. Adapun masalah jika ada yang iri melihat yang seperti itu, hendaknya beristighfar kepada ALLOH dan mohon diberikan jalan dan kemudahan untuk segera menikah bagi yang belum menikah, karena iri hanya diperkenankan berkisar pada 2 hal , pada orang yang berilmu yang digunakan ilmunya untuk diajarkan kepada orang lain di jalan ALLOH, serta pada orang yang mempunyai harta yang digunakan di jalan ALLOH. Dan hendaknya lebih bersemangat untuk menjaga diri dan ikhtiar untuk segera menikah dengan niat menjaga diri dan kemaluan karena ALLOH jika melihat hal seperti itu.
3. Bab bermesraan di tempat umum , dan termasuk menulis wall dengan kata² mesra antar suami istri, perlu ada perincian apakah termasuk seperti perbuatan syaithan² laki² dan perempuan yang disabdakan Rasulullah atau bukan. Tidak langsung menghukumi sama.
4. Hendaknya tidak bermudah²an berfatwa sesuatu hukum sebelum diperinci terlebih dahulu sehingga terjebak dalam menghukumi sesuatu yang sama yang pada hakekatnya belum tentu sama ..
Dan semoga tulisan ini bermanfa’at dan jika ada kata² ana yang salah ana mohon maaf jika merupakan kebenaran maka kebenaran itu datangnya dari ALLOH, jika ada kesalahan ana minta ma’af dan kesalahan itu datangnya dari ana dan syaithon …
Allohu’alam bi showab.
akan tetapi ada asatidz yang lain yang berbeda pendapat dengan al ustadz Fuad Baraba’.
Beliau adalah al ustadz M. Noor Yasin. Beliau menjelaskan bahwa bermesraan di depan umum bisa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sifat-i seperti syaithan wanita dan syaithan laki2 yang sdg berhubungan di pinggir jalan dan dilihat orang2. (HR. Ahmad, VI/456-457)
Berikut adalah arsip diskusi kami. Klik DI SINI.
Silahkan bagi antum yang memiliki ilmu terhadap masalah ini, bisa di sharing untuk berdiskusi di sini… Semoga bermanfaat.

Makna Tauhid

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.
Pentingnya mempelajari tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).

Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Sulitnya Mencari Orang yang Jujur

Mencari orang yang jujur di zaman ini amatlah sulit. Sampai pun ia rajin shalat, jidadnya terlihat rajin sujud (karena saking hitamnya), belum tentu bisa memegang amanat dengan baik. Ada cerita yang kami saksikan di desa kami.
Seorang takmir masjid yang kalau secara lahiriyah nampak alim, juga rajin menghidupkan masjid. Namun belangnya suatu saat ketahuan. Ketika warga miskin mendapat jatah zakat dan disalurkan lewat dirinya, memang betul amplop zakat sampai ke tangan si miskin. Tetapi di balik itu setelah penyerahan, ia berkata pada warga, “Amplopnya silakan buka di rumah (isinya 100.000 per amplop). Namun kembalikan untuk saya 20.000.” Artinya, setiap amplop yang diserahkan asalnya 100.000, namun dipotong sehingga tiap orang hanya mendapatkan zakat 80.000. Padahal dari segi penampilan tidak ada yang menyangka dia adalah orang yang suka korupsi seperti itu. Tetapi syukurlah, Allah menampakkan belangnya sehingga kita jadi tahu tidak selamanya orang yang mengurus masjid itu termasuk orang-orang yang jujur.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
Basyr Al Haafi berkata,
من عامل الله بالصدق، استوحش من الناس
Barangsiapa yang berinteraksi dengan Allah dengan penuh kejujuran, maka manusia akan menjauhinya.” (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, 351). Karena memang jujur itu begitu asing saat ini, sehingga orang yang jujur dianggap aneh.
Perintah untuk Menjaga Amanat
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu.” (HR. Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih)
Khianat ketika diberi amanat adalah di antara tanda munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33)
Jadi, jika dititipi amanat, jagalah amanat tersebut itu dengan baik. Jangan sampai dikorupsi, jangan sampai dikurangi dan masuk kantong sendiri. Ingatlah ancaman dalam dalil di atas sebagaimana dikata munafik.
Kunci Utama
Kunci utama agar kita menjaga amanat ketika dititipi uang misalnya, sehingga tidak dikorupsi atau dikurangi adalah dengan memahami takdir ilahi. Ingatlah bahwa setiap orang telah ditetapkan rizkinya. Allah tetapkan rizki tersebut dengan adil, ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah tetapkan ada yang berkelebihan harta dari lainnya, itu semua dengan kehendak Allah karena Dia tahu manakah yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga kita hendaklah mensyukuri apa yang Allah beri walaupun itu sedikit.
اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ
Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Ibnu Katsir rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278)
Jika setiap orang memahami hal di atas, maka sungguh ia tidak akan korupsi, tidak akan menipu dan lari dari amanat. Realita yang kami saksikan sendiri menunjukkan bahwa mencari orang yang jujur itu amat sulit di zaman ini. Kita butuh menyeleksi dengan baik jika memberi amanat pada orang lain. Hanya dengan modal iman dan takwa-lah serta merasa takut pada Allah, kita bisa memiliki sifat jujur dan amanat.

Moga Allah Memberi Akhlak Mulia
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Wallahu waliyyut taufiq.
Diselesaikan di Warak, Desa Girisekar, Panggang-Gunung Kidul setelah shalat Shubuh
22 Sya’ban 1432 H, 24/07/2011
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.salafiyunpad.wordpress.com dipublikasikan kembali dari www.rumaysho.com

Perhitungan Zakat Penghasilan

Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah,
Saya adalah seorang pegawai yang mendapat gaji bulanan 2000 riyal[1] (sekitar 5 juta rupiah). Semua kerabat sangat bergantung padaku dan penghidupan mereka aku pun yang menanggungnya dari gajiku. Aku sendiri memiliki seorang istri, seorang anak perempuan, orang tua, saudara laki-laki dan beberapa saudara perempuan, yang kesemuanya aku tanggung nafkahnya.
Lantas pertanyaannya, bagaimana aku bisa mengeluarkan zakat dari hartaku sedangkan sumber penghasilanku hanya dari gaji. Akan tetapi semuanya gajiku tadi untuk penghidupan keluargaku. Oleh karena itu, kapan seharusnya aku mengeluarkan zakat? Sebagian orang mengatakan bahwa gaji itu sebagaimana tanaman. Jadi tidak ada patokan haul (menunggu masa satu tahun). Kapan saja seseorang mendapati gaji, maka ia wajib zakat.
Jawaban Syaikh hafizhohullah,
Siapa saja yang memiliki gaji bulanan, namun gaji itu sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhannya dan di akhir bulan gajinya pun telah habis, maka ia tidak ada kewajiban zakat. Karena yang namanya zakat haruslah melewati haul (masa satu tahun sempurna dan hartanya masih di atas nishob).
Berdasarkan hal tersebut, maka engkau –wahai penanya- tidaklah wajib mengeluarkan zakat kecuali jika memang ada hartamu yang engkau simpan dan harta tersebut telah mencapai nishob (batasan minimal dikenai zakat) serta harta tadi bertahan selama haul (masa satu tahun).
Adapun ada yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian yaitu setiap bulan, pen), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat.
Karena semakin banyak orang yang memiliki penghasilan dari gaji, sangat baik sekali kami menjelaskan bagaimanakah cara pengeluaran zakat tersebut.
Pekerja itu ada dua kondisi dalam hal penghasilannya (gajinya):
Pertama: Orang yang menghabiskan gajinya seluruhnya (setiap bulan) untuk kebutuhannya dan tidak ada sedikit pun harta yang disimpan, maka kondisi semacam ini tidak ada zakat sebagaimana keadaan dari penanya.
Kedua: Ada harta yang masih disimpan, kadang harta tersebut bertambah dan kadang berkurang. Bagaimana menghitung zakat pada kondisi semacam ini?
Jawabnya, jika orang tersebut semangat untuk menghitung kewajiban zakat secara lebih mendetail , yaitu zakat tersebut tidaklah dikeluarkan pada orang yang berhak kecuali dari bagian harta yang kena wajib zakat. Oleh karena itu ia harus mengetahui jadwal kapan penghasilannya diperoleh. (Barangkali ia menyimpan gaji beberapa bulan), maka setiap gaji tersebut dikhususkan dengan satu haul (artinya gaji bulan pertama dihitung haulnya sendiri, gaji bulan kedua dan seterusnya pun demikian). Perhitungan haul tadi dimulai dari kapan harta tersebut dimiliki. Setiap bagian gaji penghasilan tersebut dikeluarkan sesuai dengan kapan jatuh haulnya. Lalu setelah itu zakat tersebut dikeluarkan.
Jika dia ingin menempuh jalan yang mudah, lebih enak, dan lebih menyenangkan orang miskin dan orang yang berhak menerima zakat lainnya, maka semua penghasilan yang ia miliki dizakati (tidak perlu dihitung haul tiap bulan). Perhitungan haulnya adalah dari hartanya yang pertama kali mencapai nishob. Cara penunaian zakat seperti ini akan mendapatkan pahala besar dan meninggikan derajatnya. Zakat tersebut lebih menyenangkan jiwa dan lebih membahagiakan fakir miskin dan penerima zakat lainnya. Adapun bagian penghasilan yang pertama mencapai haul, maka dibayarkan ketika itu juga. Sedangkan yang belum mencapai haul dianggap sebagai zakat yang disegerakan. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 9/280]
Contoh cara perhitungan zakat dengan cara kedua di atas:
Gaji diterima pada bulan Muharram dan ketika itu ia sisihkan untuk disimpan sebanyak 1000 riyal (sekitar 2,5 juta rupiah). Kemudian bulan Shafar dan bulan selanjutnya ia lakukan seperti itu. Ketika sampai Muharram tahun berikutnya, maka seluruh penghasilannya yang ia simpan dikeluarkan zakatnya. [Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 26113]
Pelajaran
Syarat sakat penghasilan ada dua: (1) telah melewati nishob dan  (2) telah bertahan di atas nishob selama satu haul (masa satu tahun). Nishob adalah kadar minimal suatu harta dikenai zakat. Sebagaimana pernah dibahas di rumaysho.com bahwa zakat penghasilan mengunakan nishob emas yaitu 70 gram emas murni (24 karat). Misal, harga 1 gram emas murni adalah Rp.300.000,-. Maka nishob zakat penghasilan = 70 gr x Rp.300.000,-/gr = Rp21.000.000,-. Artinya, jika penghasilan seorang pegawai dalam setahun sudah bertahan mulai di atas Rp.21.000.000,-, barulah ia dikenai zakat. Namun jika dalam setahun harta yang tersimpan tidak mencapai nilai tersebut, berarti tidak ada zakat.
Dari penjelasan di atas, ada dua cara perhitungan zakat penghasilan jika memang ada simpanan dari penghasilan tersebut. Namun cara yang paling mudah adalah memakai hitungan haul total (bukan hitungan haul bulanan).
Contoh perhitungan zakat penghasilan:
Misal harta yang tersimpan dari mulai usaha:
  • Pada tahun 1432 H, Muharram: Rp.3.000.000,-
  • Safar: Rp.2.000.000,-
  • Rabiul Awwal: Rp.1.000.000,-
  • Rabiuts Tsani: Rp.3.000.000,-
  • Jumadal Ula: Rp.4.000.000,-
  • Jumadats Tsani: Rp.2.000.000,-
  • Rajab: Rp.1.000.000,-
  • Sya’ban: Rp.5.000.000,- (Harta simpanan = Rp. 21.000.000,-, artinya sudah masuk nishob dan mulai dikenai zakat)
  • Ramadhan: Rp.2.000.000,-
  • Syawwal: Rp.2.000.000,-
  • Dzulqo’dah: Rp.3.000.000,-
  • Dzulhijjah: Rp.2.000.000,- (Total harta simpanan = Rp.30.000.000,-)
Berarti ia mulai dihitung terkena kewajiban sejak Sya’ban 1432 H. Artinya, pada awal Sya’ban 1433 H (tahun berikutnya), ia harus mengeluarkan zakat.
  • Pada tahun 1433 H, Muharram: Rp.3.000.000,-
  • Safar: Rp.2.000.000,-
  • Rabiul Awwal: Rp.1.000.000,-
  • Rabiuts Tsani: Rp.3.000.000,-
  • Jumadal Ula: Rp.1.000.000,-
  • Jumadats Tsani: Rp.1.000.000,-
  • Rajab: Rp.2.000.000,-
Di awal Sya’ban, total harta simpanan =  Rp.40.000.000,-
Zakat yang dikeluarkan = 2,5% x Rp.40.000.000,- = Rp.1.000.000,-

Catatan: 1 haul dihitung dengan penanggalan Hijriyah, bukan dengan penanggalan Masehi.
Moga sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 23 Jumadal Ula 1432 H (26/04/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 22 Juli 2011

Syarat, Rukun, dan Pembatal Puasa

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ta’ala, bulan yang mulia dan agung beberapa hari lagi mendatangi kita. Di dalam bulan Ramadhan itu pula, kita sebagai seorang muslim diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menunaikan puasa.
Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183). Maka wajib bagi seorang muslim mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan ibadah puasa, seperti syarat wajib puasa, syarat syahnya puasa, rukun puasa, pembatal-pembatal puasa, dan lainnya. Dan pada edisi ini, kami akan membahas mengenai syarat, rukun, dan pembatal Puasa.
Syarat Wajib Puasa
Syarat dalam istilah Fiqih adalah suatu yang harus ditepati sebelum mengerjakan sesuatu. Kalau syarat-syarat sesuatu itu tidak sempurna maka pekerjaan itu tidak sah. Maka syarat wajibnya puasa yaitu: islam, berakal, sudah baligh, dan mengetahui akan wajibnya puasa.
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Yang dimaksud syarat wajib penunaian puasa adalah ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit. (2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar (bepergian). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah. (3) Suci dari haidh dan nifas. Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim). Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ (mengganti di hari lain) puasanya.
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu: (1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa. (2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. An Nawawi rahimahullah berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/262).
Wajib Berniat Sebelum Terbit Fajar
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.(HR. Abu Dawud). Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini. ‘Aisyah berkata, Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa. (HR. Muslim). An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah”. Di sini disyaratkan bolehnya niat puasa di siang hari yaitu belum melakukan pembatal-pembatal puasa sebelum niat. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Rukun Puasa
Yang dimaksud dengan rukun adalah suatu yang harus dikerjakan dalam memulai suatu ibadah. Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud “terang bagimu benang putih dari benang hitam” dari ayat di atas adalah terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki. (sebagaimana hadits ‘Adi bin Hatim, HR. Tirmidzi, hasan-shahih).
Pembatal-pembatal Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan (khomr, rokok), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaatnya (potongan kayu, besi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al Baqarah: 187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum. (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’. (HR. Abu Dawud, shahih).
3. Haidh dan nifas
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita. (HR. Bukhari).
4. Keluarnya mani dengan sengaja
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan suami-istri (jima’) seperti mengeluarkan mani dengan tangan (onani) atau semisalnya. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (Allah ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku (HR. Bukhari). Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum. (Syarhul Mumthi’, 3/52).
5. Berniat membatalkan puasa
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.” (Al Muhalla, 6/174).  Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari
Berjima’ dengan pasangan di siang hari pada bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh. (Syarhul Mumthi’, 3/68).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari dan Muslim). [Raksaka Indra]
[Diringkas dari Buku “Panduan Ramadhan; Bekal Meraih Berkah Ramadhan” karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.]

Selasa, 19 Juli 2011

Khasiat Air Zam-Zam

Pertanyaan

Apa maksud dari hadits,
«مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ»
“Air zam-zam itu tergantung (niat) orang yang meminumnya.”[1]? Kemudian, apakah ketika meminumnya cukup dengan niat sebelum meminumnya ataukah harus melafadzkan do’a? Semoga Allah memberkahi ilmu dan umur anda.

Jawaban
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصَحْبِهِ وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمّا بعد
Maksud dari sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah berkah air zamzam tercapai sesuai dengan niat peminumnya. Jika dia meminumnya agar kenyang, maka Allah akan mengenyangkannya. Jika dia meminumnya untuk berobat, niscaya Allah akan menyembuhkannya. Dan jika dia meminumnya untuk memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Allah akan melindunginya. Demikianlah, dengan menghadirkan niat yang baik ketika meminum air zamzam, niscaya apa yang diniatkan oleh peminumnya akan tercapai dengan karunia Allah ta’ala, Zat yang memberikan karunia kepada siapasaja yang dikehendaki-Nya, karena Allah-lah pemilik karunia yang sangat besar.
Al-Manawi ketika menjelaskan lafadz hadits «شِفَاءُ سُقْمٍ» “obat bagi penyakit”, mengatakan, “Air zamzam itu merupakan obat bagi segala penyakit apabila diminum dengan niat yang baik dan rahmaniyyah (sesuai tuntunan Allah).”[2]
Terdapat beberapa hadits yang menerangkan keberkahan air zamzam dan anjuran untuk meminumnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ وَهِيَ طَعَامُ طٌعْمٍ، وَشِفَاءُ سُقْمِ
Air zamzam itu mengandung berkah, makanan yang mengenyangkan dan obat bagi penyakit.[3]
2.      Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

خَيْرُ مَاءٍ عَلى وَجْهِ الأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيهِ طَعَامٌ مِنَ الطُّعْمِ، وَشِفَاءٌ مِنَ السُّقْمِ
Air terbaik di permukaan bumi adalah air zamzam yang mengandung makanan dan obat suatu penyakit.[4]
Dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga meminumnya dan berwudlu menggunakannya[5].
Adapun mengucapkan do’a ketika meminumnya –sebatas pengetahuanku- tidak terdapat riwayat yang shahih mengenai hal tersebut. Sedangkan hadits Ibnu ’Abbas radliallahu ’anhuma yang mengucapkan do’a اللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا وَاسِعًا، وَشِفَاءً مِنْ كُلِّ [6]دَاء ketika meminum air zamzam adalah hadits yang dla’if. Akan tetapi, hal itu tidaklah menghalangi seseorang untuk minum air zamzam dengan niat memperoleh ilmu yang bermanfaat, keluasan rezeki, dan mengobati segala penyakit.
والعلمُ عند اللهِ تعالى، وآخرُ دعوانا أنِ الحمدُ للهِ ربِّ العالمين، وصَلَّى اللهُ على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسَلَّم تسليمًا

Aljazair, 30 Dzu al-Qa’dah 1428 bertepatan dengan 10 Desember 2007.

sumber : www.ferkous.com
Artikel www.ikhwanmuslim.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id


[1] HR. Ibnu Majah dalam al-Manasik bab as-Syurb min Zamzam (3062); Ahmad (14435); Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (19467); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (9752) dan dalam Syu’ab al-Iman (4128) dari hadits Jabir radliallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh al-Mundziri dalam at-Targhib at-Tarhib 2/136; Ibnu al-Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad 4/360 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil (1123).
[2] Fath al-Qadir 3/489.
[3] HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (9751); ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir (296); ath-Thayalisi dalam Musnadnya (457) dari hadits Abu Dzar radliallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib (2/135) dan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (2435). Asalnya adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim kitab Fadlail ash-Shahabah bab Fadlail Abi Dzar radliallahu ‘anhu (6359) dengan lafadz «إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ»
[4] HR. ath-Thbarani dalam al-Kabir (11167) dan al-Ausath (3912) dari hadits Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. Al-Manawi mengatakan dalam Faidl al-Qadir (3/489), “Al-Haitsami mengatakan, “Rijalnya tsiqqat dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Ibnu Hajar mengatakan, “Para perawinya terpercaya tapi sebagian statusnya diperbincangkan. Akan tetapi, hadits ini dapat dijadikan sebagai mutaba’at dan terdapat riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah adl-Dla’ifah (1056).
[5] HR. Abdullah bin al-Imam Ahmad dalam Zawaid al-Musnad (1/76) nomor 565 dari hadits ‘Ali radliallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan Ahmad Syakir dalam Tahqiq al-Musnad Ahmad (2/19) dan dihasankan al-Albani dalam al-Irwa (1/45) dan Tamam al-Minnah (46).
[6] HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak (1739) dari hadits Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. Hadits ini dla’if. Lihat al-Iwa karya al-albani (4/333).