Senin, 30 Mei 2011

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan anak dan istri. Atau barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent, namun ketika ortu memanggil, jawaban sang anak, “Aduh Mama, ini lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya) diganggu.” Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan lainnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah jalan menuju surga?
Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah dalam kitab Al Adabul Mufrod.
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ ، فَأَصَبْتُ ذَنُوْبًا لاَ أَرَاهَا إِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَالِكَ ِلابْنِ عُمَرَ. قاَلَ: مَا هِىَ؟ قلُتْ:ُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ الْكَبَائِرِ، هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ يَسْتَسْخِرُ ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ، قاَلَ: لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفَرَّقُ النَّارَ ، وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِيْ، وَاللهِ! قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِيْ أُمِّىْ. قَالَ: فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ.
Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena   durhaka [kepada keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih. Lihat Ash Shahihah 2898)
Lihatlah  akhi … saksikanlah ukhti … bagaimana dengan sikap lemah lembut pada orang tua yang mengandung dan membesarkan kita bisa memasukkan dalam surga! Subhanallah … Ternyata begitu ringan amalan tersebut bagi siapa yang Allah mudahkan.
Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama, dari Urwah, ia berkata mengucapkan firman Allah,
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)
قاَلَ: “لاَ تَمْتَنِعْ مِنْ شَيْءٍ أحَبَّاهُ
Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 9, shahih secara sanad)
Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada ortu sungguh luar biasa. Amalan sederhana. Namun memang butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang mudah emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran. Kalau kita mengingat balasan lemah lembut, sungguh itu akan membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas keburukan dengan kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)
Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka sebagai jalan menuju surga yang penuh kenikmatan yang tiada tara.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَ سَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan jika sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)
Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al Ahbar. Beliau pernah ditanyakan mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله
Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy)
Semoga Allah beri taufik dan kemudahan bagi kita sekalian untuk berlemah lembut dan berakhlak pada orang tua kita yang amat kita kasihi. Wallahu waliyyut taufiq.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat -
Riyadh-KSA, 24 Rabi’uts Tsani 1432 H (29/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Allah Begitu Dekat pada Orang yang Berdoa

Sudah begitu lama, ingin agar harapan segera terwujud. Beberapa waktu terus menanti dan menanti, namun tak juga impian itu datang. Kadang jadi putus asa karena sudah seringkali memohon pada Allah. Sikap seorang muslim adalah tetap terus berdo’a karena Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a. Boleh jadi terkabulnya do’a tersebut tertunda. Boleh jadi pula Allah mengganti permintaan tadi dengan yang lainnya dan pasti pilihan Allah adalah yang terbaik.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَبُّنَا قَرِيبٌ فَنُنَاجِيهِ ؟ أَوْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ
“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdo’a ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas. (Majmu’ Al Fatawa, 35/370)
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdo’a (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ Al Fatawa, 5/247)
Perlu diketahui bahwa kedekatan Allah itu ada dua macam:
  1. Kedekatan Allah yang umum dengan ilmu-Nya, ini berlaku pada setiap makhluk.
  2. Kedekatan Allah yang khusus pada hamba-Nya dan seorang muslim yang berdo’a pada-Nya, yaitu Allah akan mengijabahi (mengabulkan) do’anya, menolongnya dan memberi taufik padanya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Kedekatan Allah pada orang yang berdo’a adalah kedekatan yang khusus –pada macam yang kedua- (bukan kedekatan yang sifatnya umum pada setiap orang). Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a dan yang beribadah pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits pula bahwa tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah ketika ia sujud. (Majmu’ Al Fatawa, 15/17)
Siapa saja yang berdo’a pada Allah dengan menghadirkan hati ketika berdo’a, menggunakan do’a yang ma’tsur (dituntunkan), menjauhi hal-hal yang dapat menghalangi terkabulnya do’a (seperti memakan makanan yang haram), maka niscaya Allah akan mengijabahi do’anya. Terkhusus lagi jika ia melakukan sebab-sebab terkabulnya do’a dengan tunduk pada perintah dan larangan Allah dengan perkataan dan perbuatan, juga disertai dengan mengimaninya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Dengan mengetahui hal ini seharusnya seseorang tidak meninggalkan berdo’a pada Rabbnya yang tidak mungkin menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Pahamilah bahwa Allah benar-benar begitu dekat dengan orang yang berdo’a, artinya akan mudah mengabulkan do’a setiap hamba. Sehingga tidak pantas seorang hamba putus asa dari janji Allah yang Maha Mengabulkan setiap do’a.
Ingatlah pula bahwa do’a adalah sebab utama agar seseorang bisa meraih impian dan harapannya. Sehingga janganlah merasa putus asa dalam berdo’a. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Do’a adalah sebab terkuat bagi seseorang agar bisa selamat dari hal yang tidak ia sukai dan sebab utama meraih hal yang diinginkan. Akan tetapi pengaruh do’a pada setiap orang berbeda-beda. Ada yang do’anya berpengaruh begitu lemah karena sebab dirinya sendiri. Boleh jadi do’a itu adalah do’a yang tidak Allah sukai karena melampaui batas. Boleh jadi do’a tersebut berpengaruh lemah karena hati hamba tersebut yang lemah dan tidak menghadirkan hatinya kala berdo’a. … Boleh jadi pula karena adanya penghalang terkabulnya do’a dalam dirinya seperti makan makanan haram, noda dosa dalam hatinya, hati yang selalu lalai, nafsu syahwat yang menggejolak dan hati yang penuh kesia-siaan.” (Al Jawaabul Kaafi, hal. 21). Ingatlah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ
Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, Ahmad 2/362. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Jika memahami hal ini, maka gunakanlah do’a pada Allah sebagai senjata untuk meraih harapan.
Penuh yakinlah bahwa Allah akan kabulkan setiap do’a. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Lalu pahamilah bahwa ada beberapa jalan Allah kabulkan do’a. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad 3/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid). Boleh jadi Allah menunda mengabulkan do’a. Boleh jadi pula Allah mengganti keinginan kita dalam do’a dengan sesuatu yang Allah anggap lebih baik. Atau boleh jadi pula Allah akan mengganti dengan pahala di akhirat. Jadi do’a tidaklah sia-sia.
Ingatlah wejangan yang amat menyejukkan hati dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata,
من اتكل على حسن اختيار الله له، لم يتمن شيئا. وهذا حد الوقوف على الرضى بما تصرف به القضاء
Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya)” (Lihat Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262 dan Al Bidaayah wan Nihaayah 8/39). Pilihan Allah itulah yang terbaik.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 7 Jumadats Tsaniyah 1432 H (10/05/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Selasa, 24 Mei 2011

Fenomena Kemerosotan Kualitas Agama

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII)

Pada acara-acara keagamaan di kampung-kampung, seringkali pembaca acara (moderator) menyampaikan rasa hormat dan terima kasih di antaranya kepada ulama. Padahal tidak jarang, sebutan ulama itu dimentahkan oleh realita acara tersebut. Ternyata yang dimaksud hanya guru ngaji atau guru madrasah biasa.
Surutnya kualitas makna ulama berbanding lurus dengan berkurangnya semangat untuk mencari, menghormati dan mengamalkan ilmunya. Masyarakat pun sepertinya kurang mendukung keberadaan orang alim yang benar-benar berilmu dan mendakwahkannya. Penceramah yang pandai memancing gelak-tawa hadirin lebih disukai. Jadilah majelis taklim seperti tontonan lawak, lantaran begitu derasnya tawa yang terdengar.
Apalagi bila ditambah dengan ulah buruk sebagian orang yang sudah meraih gelar ulama sehingga kian menambah terpuruknya citra Ulama itu sendiri. Sehingga, manusia bergelar ulama dengan makna sesungguhnya yang berorientasi kepada Allâh Ta'âla (Ulama Rabbani) menjadi makhluk langka.
Ulama adalah panutan dan tumpuan terhadap persoalan-persoalan yang menjadi keluh-kesah masyarakat. Pada zaman globalisasi ini, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dan aneh-aneh. Dalam hal ini, para ahli hukum agama Islam (fuqaha) sebenarnya tidak boleh santai dalam mendalami ilmu. Apalagi sampai berhenti, merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki.
Kondisi ini sedikit demi sedikit kian parah, tatkala insan-insan yang sudah terdaulat mengerti masalah agama, tidak tanggap terhadap persoalan-persoalan baru dan masih fanatik dengan satu kitab kuningnya.
Akibatnya, pengetahuan agama berjalan di tempat, perkembangan ilmu agama tidak seimbang dengan perkembangan dinamika sosial yang bergerak cepat. Zakat saham, solusi dari bank ribawi, bayi tabung, sewa rahim, transaksi via internet dan deretan persoalan baru yang sudah akrab dengan denyut kesibukan masyarakat menuntut kesigapan para Ulama. Masalah-masalah yang dianggap kecil dan ringan saja masih memerlukan kehati-hatian untuk menjawabnya, terlebih lagi persoalan-persoalan kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akan tetapi bagi yang kurang takut kepada Allâh Ta'âla, akan memaksakan diri untuk memutar-mutar otak dan memeras kepalanya ketika menghadapi suatu pertanyaan; padahal sebenarnya dia belum pernah tahu. Akan tetapi terdorong oleh ego tinggi dan rasa malu bila tidak bisa menjawab, maka akhirnya terpaksalah muncul jawaban dari bibirnya.
Keadaan semacam ini sangat memprihatinkan. Tatkala orang secara serampangan mengeluarkan fatwa tentang masalah agama. Padahal ia tidak mengetahuinya atau kurang memahaminya.
Ketika orang mengatakan ini boleh, itu tidak boleh, itu halal, itu haram, pada hakekatnya ia telah berkata atas nama Allâh Ta'âla, Dzat yang berwenang menetapkan aturan hukum di alam semesta ini. Karena itu, setiap orang harus mengerem lidah dari berfatwa tentang permasalahan yang tidak ia ketahui dengan baik.
Kisah berikut cukuplah menjadi bahan renungan kita sekalian untuk selalu menjaga lisan dari segala yang tidak kita ketahui, apalagi masalah agama.
Pada suatu hari, Imam Mâlik rahimahullâh menjumpai gurunya, Imam Rabî’ah bin ‘Abdurrahmân rahimahullâh yang sedang menangis. Imam Mâlik rahimahullâh bertanya kepadanya:
“Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?”
Beliau menjawab:
“Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.”
Lalu Imam Rabî’ah rahimahullâh berkata:
” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjarakan daripada para pencuri." (At-Tamhîd:3/5)

Ibnu Shalah rahimahullâh mengomentari kisah ini dengan berkata:
“Semoga Allâh Ta'âla senantiasa merahmati Imam Rabî’ah, apa gerangan komentar beliau andaikan menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini” (Adâbul Mufti wal Mustafti 1/20)
Dan sekarang kita katakan, apa gerangan komentar beliau andaikan menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini? Apa komentar beliau seandainya melihat perilaku sebagian orang yang telah didaulat sebagai Ulama oleh masyarakat?
Para ulama terdahulu telah menetapkan betapa bahayanya berbicara tentang agama tanpa landasan ilmu yang benar. Kewajiban orang yang tidak tahu adalah diam dan mengatakan tidak tahu. Itulah jalan keselamatan.
Ibnu ‘Umar pernah ditanya oleh seorang Badui tentang bibi dari garis bapak, apakah ia memperoleh warisan. Ibnu Umar menjawab:
"Saya tidak tahu”.
Orang Badui itu bertanya keheranan:
"Engkau tidak mengerti?”.
"Ya", jawab Ibnu ‘Umar. "Datangilah ulama dan tanyalah mereka".
Ibnu ‘Uyainah bercerita:
"Dahulu Abul Hushain, jika ditanya suatu masalah (yang tidak diketahui) menjawab: 'Aku tidak mempunyai ilmu tentang itu. Wallahu a’lam'”. (Tahdzîbut Tahdzîb (7/127))
Semoga Allâh Ta'âla berkenan menghidupkan dan membangkitkan Ulama Rabbani yang ikhlas kepada Allâh Ta'âla, bermoral tinggi di hadapan Allâh Ta'âla dan manusia serta bersemangat memperbaiki masyarakat, dan selalu berlandaskan qâlallah dan qâla rasûluhu (ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam yang shahih). Wallahu a’lam.

INGKARUS SUNNAH PERUSAK AL-QUR’AN

Tafsir Ayat:
…. Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu (Nabi) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl [16]: 44)
Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu yang tidak bisa dipisahkan. Barangsiapa berpegang pada salah satunya saja dengan meninggalkan yang lain, sungguh dia telah tersesat. Ironisnya, ada sebagian kalangan yang merasa cukup dengan al-Qur’an, tidak mau mengambil as-Sunnah. Merekalah kaum Qur’aniyyun alias Inkarus Sunah.
Syaikh Abdul Wahhab bin Abdul Jabbar ad-Dahlawi rohimahulloh berkata: “Musibah yang menimpa kaum muslimin pada zaman sekarang ialah tersebarnya kelompok yang berpegang hanya kepada al-Quran dan menolak hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang mutawatir. Musibah ini melanda negeri-negeri Islam, khususnya India. Mereka mempunyai organisasi yang menamakan dirinya “Ahlu al-Qur’an”. Mereka sebarkan pemahaman ini lewat tulisan, brosur, dan majalah India. Akan tetapi, mereka telah dibantah oleh para ulama India, seperti Syaikh as-Sayid Sulaiman an-Nadawi rohimahullohTahqiq . (lihat Tahqiq Ma’na as-Sunnah oleh an-Nadawi: 24).
Betapa banyak ayat al-Qur’an yang butuh penjelasan dari as-Sunnah, seperti ayat sholat, zakat, dan lainnya. Ayat di atas (QS. an-Nahl [16]: 44) menjadi rujukan kami untuk menjelaskan betapa pentingnya kita berpegang kepada as-Sunnah. Mustahil kita bisa mengamalkan al-Qur’an tanpa keterangan dari sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
tafsir ayat
Syaikh al-Albani rohimahulloh berkata: “Yang dapat saya pahami dari ayat ini ada dua keterangan:

1. Penjelasan lafazh dan tata letaknya, yaitu beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya, tetapi menyampaikan kepada umatnya (lihat surat al-Ma’idah [5]:67).
Aisyah rodhiyallohu anha berkata: ‘Barangsiapa menuduh bahwa Mu­hammad shollallohu alaihi wa sallam menyimpan sedikit saja dari ayat Alloh, sungguh orang (penuduh) ini paling besarnya dustanya di sisi Alloh’ (HR. Muslim 1/159)
2. Beliau shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan makna lafazh dan makna secara umum atau menerangkan makna ayat yang menjadi kebutuhan umatnya. Terutama apabila ayat itu bersifat glo­bal, umum, atau mutlak, maka as-Sunnah menerang­kan yang masih global, mengkhususkan yang umum, dan mentaqyid yang mutlak, baik lewat perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau tatkala melihat sahabatnya berbuat.” (Manzilatus Sunnah fil Islam oleh al-Albani: 4)
Syaikh Sulaiman an-Nadawi rohimahulloh berkata: “Berdasarkan ayat ini, apabila para sahabat tidak memahami suatu ayat, mereka segera merujuk maknanya ke­pada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Apabila ada suatu peristiwa, mereka me­nyampaikan kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallamshollallohu alaihi wa sallam menjelaskan puasanya tetap sah, karena orang lupa dan keliru tidak dihukum sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Ahzab [33]: 5.” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 29-30 ta’liq wa tahrij al-Albani dkk.) untuk mendapatkan penjelasan dan pelajaran yang belum didapatkan sebelumnya. Misalnya puasa, al-Qur’an tidak menjelaskan hukum orang berpuasa apabila dia lupa makan dan minum, tetapi Nabi
faedah ayat
Ayat ini mendapat perhatian serius dari para ulama Sunnah. Dari keterangan mereka dapat kita ambil beberapa faedah:
1. Para sahabat rodhiyallohu anhum mengerti al-Qur’an karena menerima keterangan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam mengajarkan makna al-Qur‘an kepada para sahabat dan lafazhnya. Abu Abdirrohman as-Sulami rohimahulloh berkata: ‘Orang yang membaca al-Qur’an seperti Utsman bin Affan dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhuma bercerita kepada kami, apa­bila mereka belajar dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam sepuluh ayat, tidaklah melanjutkannya sehingga mereka betul-betul paham, mengerti, dan mengamalkannya” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 13/331)
2. Imam Syafi’i berkata: “Ayat ini menjadi dalil, sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam merupakan penjelas al-Qur’an.” (al-Mahsul 3/513)
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan al-Qur’an ke­pada mereka dengan keterangan yang lengkap. Jika tidak menger­ti, para sahabat segera bertanya kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu beliau segera menjelaskannya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/153)
3. Ayat ini membantah Qur’aniyyun.
Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berka­ta: “Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang mujmal (global) seperti sholat, zakat, haji, dan lainnya, yang tidak kita ketahui apa yang harus kita kerjakan. Akan teta­pi, dengan keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam kita menjadi tahu. Oleh karena itu, apabila keterangan beliau ini dapat dipercaya penukilannya maka batallah orang yang beralasan dengan dalil al-Qur’an saja….” (al-Ihkam 1/78)
3. Wajib menerima hadits ahad yang shohih.
Al-Amidi rohimahulloh berkata: “Risalah yang sampai kepada kita adakalanya mutawatir dan (ada-kalanya) ahad, sedangkan yang mutawatir hanya sedikit; maka jika hadits ahad ditolak, tentulah tidak akan terwujud fungsi beliau shollallohu alaihi wa sallam sebagai penyampai risalah untuk semua lapisan manusia, dan ini mustahil karena Alloh subhanahu wa ta’ala menyuruh Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan ayat kepada mereka (lihat QS. an-Nahl [16]: 44).” (al-Ihkam 2/68, oleh al-Amidi)
5. Ingkar as-Sunnah sesat dan jahil.
Imam Ibnu Abdil Bar rohimahulloh berkata: “Tidak mungkin me­mahami maksud ayat al-Qur’an melainkan lewat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Belumkah kamu membaca firman-Nya dalam surat an-Nahl [16]: 44? Belumkah kamu ketahui bahwa sholat, zakat, haji, puasa, dan semua hukum di dalam al-Qur’an umumnya masih global? Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan hu-kumnya. Barangsiapa menolak hadits yang shohih, dia sesat dan jahil.” (at-Tamhid 23/324)
6. Keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang ayat al-Qur’an berdasarkan wahyu.
Aisyah rodhiyallohu anha berkata: “Tidak­lah Nabi shollallohu alaihi wa sallam(ats-Tsiqqot Ibnu Hibban 7/395) menafsirkan ayat al-Qur’an sedikitpun melainkan karena Jibril alaihissalam mengajarkan kepada beliau.”
7. As-Sunnah untuk mengetahui halal dan harom.
Mujahid rohimahulloh berkata: “Mak­na ayat tersebut, agar Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan yang halal dan yang harom kepada manusia.” (ad-Durrul Mantsur 5/133)
8. As-Sunnah pelengkap keterangan al-Qur’an.
Ibnu Rojab rohimahulloh berkata: “Tidaklah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam meninggal dunia melainkan setelah sempurna menjelaskan al-Qur’an ke­pada umatnya, sebagaimana ke­terangan surat an-Nahl [16]: 44.”
makna as-sunnah
Sering kita dengar terucap perkataan: “Fulan di atas Sunnah”, “Mari kita berpegang ke­pada as-Sunnah”, dan perkataan lain yang serupa. Agar kita tidak salah menafsirkan makna as-Sun­nah dan siapakah ahlinya, mari kita ikuti pembahasannya.
As-Sunnah ada dua macam: (1) sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sunnah para sahabatnya shollallohu alaihi wa sallam. Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: (2)
“Maka wajib atasmu berpegang dengan sunnahku (petunjukku) dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapat petunjuk dan menunjukkan jalan yang haq. ” (HR. Abu Dawud: 3991, bersumber dari al-’Irbadh bin Sariyah rodhiyallohu anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud, lihat pula Shohihul Jami’: 2549)
Pengambilan kalimat “as-Sunnah”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh ber­kata: “Sebagian orang jahil berkata bahwa kalimat as-Sunnah diambil dari kata masnat bahasa Ibrani, artinya orang Yahudi meninggalkan Taurot karena berpe­gang kepada riwayat Isra’iliyyah, sedangkan orang Islam meninggalkan al-Qur‘an karena berpe­gang kepada hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu menamakannya as-Sunnah. Hal ini tidak benar, karena as-Sun­nah diambil dari ayat al-Qur’an, bukan dari bahasa Ibrani.
…. Dan tidaklah akan kamu dapati perubahan bagi sunnah (ketetapan) Kami itu. (QS. al-Isro’ [17]: 77).” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 70)
Kami tambahkan, diambil pula dari sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam sebagai­mana keterangan hadits di atas.
“As-Sunnah” menurut bahasa
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli bahasa ber­kata as-sunnah ialah jalan yang ditempuh.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
“Sunnah” menurut bahasa ini bersifat umum, ada sunnah hasanah dan ada yang sayyi’ah, sebagaimana keterangan hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.
Makna “as-Sunnah” yang sempurna
Imam Ibnu Rojab rohimahulloh berka­ta: “As-Sunnah meliputi berpe­gang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin dari sisi i’tiqod, amalan, dan perkataan. Inilah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf dahulu tidaklah menamai as-Sunnah melainkan bila mencakup ini semua.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 28)
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ber­kata: “As-Sunnah ialah amalan yang berdasarkan dalil syar’i, menaati Alloh dan Rosul-Nya; (pada) perkara yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam atau diamal­kan ]pada zamannya, yang beliau tinggalkan atau tidak diamalkan pada zamannya karena tidak ada keharusan pada waktu itu atau adanya hambatan, jika ada dalil bahwa beliau memerintahkan atau menganjurkan maka itulah sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/317-318)
Jadi harus dibedakan dengan makna “sunnah” menurut ahli fiqih yang meninjau dari sisi hukum, bahwa sunnah adalah ama­lan yang bukan wajib; seperti sholat sunnah, puasa sunnah, dan contoh lainnya.
Beda “al-Hadits”dan “as-Sunnah”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh ber­kata: “Al-Hadits ialah riwayat yang menerangkan perkataan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam. Sedang­kan as-Sunnah ialah pengamalan hadits dan al-Qur’an yang sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, baik mutawatir lafzhi atau amali, yang dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya; se­perti perintah sholat di dalam al-Qur’an lalu diperjelas oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan sabda beliau: ‘Sholatlah kalian seperti kamu melihatku sholat’ dan amalan sholat ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan semua kaum muslimin. Demikian pula puasa, zakat, haji, dan semua perintah lainnya.” (Tahqiq Ma’na as-Sun­nah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadwi: 52, 56)
Makna “as-Sunnah an-Nabawiyyah”
Syaikh Ibnu Utsaimin ber­kata: “As-Sunnah an-Nabawiyyah ialah yang dinukil dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau. Mengamalkan as-Sunnah wajib, sebagaimana mengamalkan al-Qur’an.” (at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu: 6, Ibnu Utsaimin)
Siapakah “Ahli as-Sunnah”?
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Fulan dikatakan ahli Sunnah apabila mengamal­kan al-Qur’an, as-Sunnah, dan atsar dalam segi i’tiqod, perbuatan, maupun perkataan. Ahli Sunnah bukanlah orang yang menyelisihi Alloh subhanahu wa ta’ala dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
Ulama salaf berkata: “Ahli Sunnah mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta beramal seperti salafush-sholih dan mengikuti atsar para sahabat rodhiyallohu anhum.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
Hadits yang shohih itulah “as-Sunnah”
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Maka wajib dibedakan antara hadits shohih dan hadits palsu. Sesungguhnya as-Sunnah adalah hadits yang shohih, bukan hadits yang lemah.” (Majmu’ Fatawa 3/380)
Bila “as-Sunnah” menjadi landasan hukum ?
Syaikh al-Albani rohimahulloh berka­ta: ‘As-Sunnah menjadi landasan hukum apabila datang berdasarkan ilmu dan sanad shohih yang dikenal oleh ulama hadits dan perowinya.” (Manzilatus Sunnah fil Islam: 5)
Dari keterangan di atas, kita dapat membedakan makna “sunnah” menurut bahasa dan istilah, kapan boleh dijadikan hujjah dan diamalkan, dan kapan seseorang berhak disebut “ahli Sunnah”.
penyebab ingkar sunnah
Orang mengingkari as-Sun­nah tentunya memiliki sebab dan tujuan. Inilah di antaranya:
1. Membenci Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rosul. Ini berawal dari kelompok Yahudi yang tidak senang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
2. Agar manusia bebas berpikir dan berbuat menuruti hawa nafsunya, tidak terikat dengan ketentuan as-Sunnah.
3. Karena kebodohannya, tidak mau menuntut ilmu kepada ahlinya.
4. Memusuhi Islam dengan cara yang halus lewat mulut mereka. Mustahil mereka membela Islam kalau membenci as-Sunnah.
5. Memecah belah persatuan dan kekuatan kaum muslimin. Apabila al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah dan pemahaman sahabat rodhiyallohu anhum kaum muslimin menjadi kuat dan bersatu.
6. Memberi peluang musuh Is­lam agar bisa bersikap keras kepada kaum muslimin. Sebaliknya, mereka menjadikan umat Islam bersikap .lembut terhadap pemeluk agama lain, bersabar, dan suka memaaf-kan bila Yahudi atau Nasrani bersalah kepada kaum mus­limin.
Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di ambang pintu kehancuran.”
as-sunnah adalah wahyu alloh
Setelah kita memahami mak­na as-Sunnah an-Nabawiyyah, ketahuilah bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu yang tidak boleh dipisahkan. Dalil yang menerangkan bahwa as-Sunnah an-Nabawiyyah termasuk wahyu:
Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui… (QS. an-Nisa‘ [4]: 113)
Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir berkata: “Al-Hikmah ialah Sun­nah.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/555, Tafsir ath-Thobari 3/274)
Dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)
al-qur‘an mengagungkan as-sunnah
Perlu kami sampaikan dalil dari ayat al-Qur‘an tentang wajibnya mengagungkan dan mengamalkan as-Sunnah. Orang yang berpegang kepada al-Qur’an harus berpegang kepada ayat yang menjelaskan keharusan berpegang kepada as-Sunnah pula. Jika tidak demikian, tidaklah benar pengakuan me­reka berpegang kepada ayat al-Qur’an. Inilah dalilnya:
1. Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan supaya menaati Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Dan taatilah Alloh dan Rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali lmron[3]:132)
2. Alloh subhanahu wa ta’ala. menyifati seseorang sebagai mu’min bila taat ke­pada Nabi shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. al-Anfal [8]: 1, an-Nisa’ [4]: 63)
3. Alloh subhanahu wa ta’ala. menjelaskan bahwa di antara batalnya amal ialah karena tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. Muhammad [47]: 33)
4. Orang yang tersesat ialah orang yang durhaka kepada Rosul-Nya. (Lihat QS. al-Ah-zab [33]: 36)
5. Orang yang tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam masuk neraka. (Li­hat QS. al-Jin [72]: 32)
6. Alloh subhanahu wa ta’ala menjadikan Nabi shollallohu alaihi wa sallamuswatun hasanah. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21) sebagai
7. Al-Qur”an menerangkan wajibnya kita berpegang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
…. Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…. (QS. al-Hasyr[59] :7)
8. Al-Qur’an mewajibkan berhukum dengan as-Sunnah. (Lihat QS. an-Nur [24]: 48, 51)
Qur’aniyyun hendaknya menerima ketetapan ayat di atas, dan harus berpegang kepada as-Sunnah. Jika tidak, jawablah pertanyaan Alloh subhanahu wa ta’ala di bawah ini:
Maka kepada perkataan apakah selain al-Qur’an ini mereka akan beriman? (QS. al-Mursalat [77]: 50)
Dalil dari Sunnah Nabawiyyah yang mewajibkan kita berpegang dan mengamalkan sunnah beliau shollallohu alaihi wa sallam banyak sekali. Di antaranya:
1. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Adapun sesudahnya, maka sebaik-baik perkataan adalah kitab Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.” (HR. Muslim: 1435)
2. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya! Tidaklah salah satu di antara kamu beriman sehingga aku lebih disenanginya melebihi orangtua dan anaknya.” (HR. Bukhori: 13)
4. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Alloh, saya tidak menjumpai salah satu di antara kamu ada di ternpat tidurnya, lantas datang kepadanya perintahku atau laranganku, lalu dia berkata: ‘Saya tidak tahu, yang kami jumpai dari al-Qur’an itulah yang kami amalkan.’” (HR. Ibnu Majah: 13, dishohihkan oleh al-Albani 1/14, bersumber dari Rofi’
Abu Bakar rodhiyallohu anhu berkata: “Tidaklah yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melainkan aku mengamalkannya. Sungguh aku takut apabila meninggalkan sebagian perintahnya, aku menjadi orang yang berpaling dari sunnahnya.” (al-Ibanah 1/246)
faedah berpegang kepada as-sunnah
Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: Di antara faedah berpegang kepada as-Sunnah dan atsar yang terpuji ialah sebagai berikut:
1. Orang yang bepegang kepada as-Sunnah menjadi imam dan panutan yang baik, jauh dari kesalahan. Berbeda halnya dengan orang yang taklid kepada salah seorang pemimpin, jelas banyak kesalahannya. Jika kamu ditanya: “Mana dalilmu?” Jawablah: “Ini adalah sunnah Rosululloh atau sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam.”
2. Berakhlak seperti akhlak Nabi shollallohu alaihi wa sallam, karena beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan beliau ditakdirkan berakhlak mulia.
3. Berpegang kepada as-Sunnah menjadikan seseorang bersifat tengah-tengah, umat pun menjadi baik, tidak berlebih-lebihan dalam menyenangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan tidak menghina atau meremehkan beliau, karena Dinulloh (agama Alloh) itu dinul wasath atau tengah-tengah….
4. Orang yang berpegang kepada as-Sunnah menyeru manusia dengan penuh rohmat, lembut, dan kasih sayang lagi ramah….
(Diringkas dari at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu oleh Ibnu Utsaimin: 17-20)
Kami tambahkan, berpegang kepada as-Sunnah memperkecil perselisihan serta mempererat persaudaraan dan persatuan, karena ulama berbeda-beda di dalam keilmuan dan pemahaman, seperti yang dijelaskan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala:
…. Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada Dzat yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf [12]: 76)
Bagi orang awam, apabila tidak paham hendaknya merujuk dan menanyakan kepada ahlinya, yaitu Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan orang yang berpegang kepada sunnah beliau, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. an-Nahl [16]: 43.
sikap ulama terhadap “ingkar sunnah”
1. Dilarang bergaul dan mengambil ilmu mereka
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata: ”Kalian akan menjumpai suatu kaum, mereka mengaku mengajak kamu kepada kitab Alloh, padahal mereka membuang al-Qur’an ke balik punggung me­reka. Maka kalian wajib berpe­gang kepada ilmu, jauhkan dirimu dari perkara bid’ah, jauhkan dirimu dari mendalami perkara (berlebihan) , dan kamu wajib berpegang kepada Sunnah.” (Sunan ad-Darimi 1/66)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu ber­kata: “Janganlah kamu bergaul dengan orang yang mengandalkan pendapatnya. Sesungguhnya mereka musuh Sunnah. Mereka menolak hadits yang mereka hafal, (lantas) berpegang kepada pendapatnya. Mereka sesat dan menyesatkan (lihat al-Lalikai 1/123)
2. Wajib mendakwahi mereka agar kembali kepada Sunnah dan menjelaskan bahayanya sesuai dengan keterangan di atas
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata: “Hampir saja diturunkan kepa­da kalian hujan batu dari langit, (ketika) saya berkata ‘Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda’ sedangkan kamu (membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)
3. Mereka penyesat umat
Abu Qilabah rohimahulloh berkata: “Jika kamu menyampaikan as-Sunnah kepada seseorang lalu dia berkata ‘Tinggalkan as-Sun­nah, mana dalil al-Qur’an?’ Ketahuilah, dia sesat”. (Thobaqot Ibnu Sa’ad 7/I84)
4. Mereka itu Abu Jahal pada zaman sekarang.
Imam adz-Dzahabi rohimahulloh ber­kata: “Apabila kamu melihat ahli kalam dan orang ahli bid’ah ber­kata ‘Tinggalkan al-Qur’an dan hadits ahad, bawakan akal’. Ketahuilah, dia Abu Jahal…” (Siyar A’lamin Nubala’ 4/472)
5. Mereka di ambang pintu kehancuran
Imam Ahmad rohimahulloh berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di am­bang pintu kehancuran.” (Thobaqotul Hanabilah 2/15, al-Ibanah 1/260)
6. Mereka penyembah hawa nafsu
Imam al-Barbahari rohimahulloh ber­kata: “Jika kamu mendengar sese­orang mencela atsar atau menolak atsar atau ingin selain atsar, curigailah keislamannya. Tidak diragukan, dialah penyembah hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah: 51)
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli Sunnah dari ulama salaf berkata: ‘Apabila ada orang yang mencela atsar maka harus dicurigai keislaman­nya” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
6. Tidak diajak bicara, bila hal itu ada maslahatnya.
Ibnu Sirin rohimahulloh pernah menceritakan hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam ke­pada seseorang, lalu orang itu berkata: “Akan tetapi, fulan ber­kata demikian demikian.” Lalu Ibnu Sirin rohimahulloh menjawab: “Aku menceritakan hadits dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam lantas kamu berkata ‘Fulan bicara demikian’, tak perlu saya bicara denganmu selamanya.” (Sunan ad-Darimi: 442)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu tidak mengajak bicara anaknya yang bernama Bilal ketika melarang wanita masuk masjid padahal Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam membolehkannya (lihat Shohih Muslim: 672).
Jika menolak satu hadits saja disikapi demikian, bagaimanakah terhadap pengingkarnya.
8. Boleh dicurigai keislamannya
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh berkata: “Barang­siapa membenci sebagian dari apa yang didatangkan oleh Ro­sululloh shollallohu alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkan, maka dia kafir.” Lalu beliau menukil QS. Muhammad [47]: 9 (lihat Nawaqidhul Islam).
bahaya ingkarus sunnah
Orang yang menolak Sunnah hendaknya waspada, boleh jadi adzab Alloh subhanahu wa ta’ala bukan hanya menimpa mereka pada hari kiamat, tetapi juga di dunia.
Al-Akwa” rodhiyallohu anhu pernah bercerita kepada anaknya yang bernama Salamah: ‘Ada seseorang makan dengan tangan kiri, lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: ‘Makanlah dengan tangan kanan!’ Dia berkata: ‘Saya tidak bisa’ Padahal dia mampu, tetapi (ucapan itu keluar) karena sombong. Lalu tangannya benar-benar lumpuh, tidak bisa mengangkat ke mulutnya.” (HR. Muslim: 3766)
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu datang ke rumah istrimu pada malam hari dengan tiba-tiba.” Lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam datang kembali, tiba-tiba ada dua orang laki-laki berjalan menemui istrinya pada malam hari, masing-masing menjumpai istrinya bersama orang laki-laki. (HR. ad-Darimi: 444, dishohihkan oleh al-Albani; lihat Jami’ush Shoghir 1/1332, Silsilah ash-Shohihah 8/92)
Sa’id bin Musayyib rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah orang yang keluar dari masjid ketika mendengar adzan melainkan dia orang munafik, kecuali apabila keluar karena ada keperluan lalu kembali ke masjid lagi.” Lantas ada orang yang berkata: “Temanku di Harroh.” Lalu dia keluar setelah adzan dikumandangkan. Sa’id menegurnya: “Jangan keluar!” Akan tetapi, dia tetap keluar. Lalu Sa’id diberi tahu bahwa orang itu jatuh dari kendaraannya dan patah tulang pahanya. (HR. ad-Darimi: 447, al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”, lihat ats-Tsimar al-Mustathob 1/145)
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il at-Taimi rohimahulloh berka­ta: “Saya pernah membaca sebuah cerita, bahwa sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam ‘Apabila salah satu di antara kamu bangun dari tidur maka janganlah mencelupkan tangannya ke bejana sehingga membasuhnya, karena dia tidak tahu tempat bermalam tangannya’, lalu ahli bid’ah itu berkata: ‘Saya tahu di mana tanganku bermalam’ Tiba-tiba pada pagi harinya tangannya masuk dalam duburnya sampai hasta.” At-Taimi berkata: “Waspadalah! Jangan meremehkan Sunnah, lihat bagaimana akibatnya.” (Lihat Bustanul Arifin oleh Imam Nawawi: 94)
bahaya menafsirkan al-qur’an tanpa as-sunnah
Orang yang mengamalkan al-Qur’an namun menolak as-Sunnah tentu akan mengartikan ayat secara ngawur mengikuti hawa nafsunya. Bukanlah dia pengamal al-Qur’an, namun justru perusak al-Qur’an. Bagaima­na tidak, al-Qur’an diturunkan bukan di lubuk hati tiap-tiap manusia, tetapi lewat Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh berkata: “Tak seorang pun boleh berpegang pada pendapatnya bila menjumpai sunnah Rosu­lulloh shollallohu alaihi wa sallam.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: “Ulama Sunnah bersepakat, barangsiapa yang sudah jelas baginya sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka tidak halal meninggalkannya lantaran berpegang kepada pendapat seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Ali bin Sulthon al-Qori’ rohimahulloh berkata: “Barangsiapa menerangkan al-Qur‘an dengan pendapatnya, sungguh ia kufur; maka bagaimanakah membicarakan Dzatulloh dan sifat-Nya ber-dasarkan hawa nafsunya.” (ar-Roddu ‘ala Wihdatil Wujud 1/46)
Ibnu Abil Izzi rohimahulloh berka­ta: “As-Sunnah datang untuk menjelaskan dan menetapkan apa yang ada di dalam al-Qur’an. Tidaklah Alloh membutuhkan pendapat si fulan atau perasaan si fulan untuk urusan agama ini.” (Syarh ath-Thohawiyyah 1/89)
Bahaya lain, dia sesat dan menyesatkan umat serta menjadi penyembah hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Jatsiyah [45]: 23.
MUSTAHIL MENGAMALKAN AL-QUR’AN TANPA AS-SUNNAH
Mustahil Quraniyyun bisa mengamalkan al-Qur’an dengan benar dan jujur tanpa bantuan as-Sunnah shohihah, mengapa?
1. Alloh menurunkan al-Qur’an bukan kepada setiap manusia, tetapi kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan perantara Jibril alaihissalam. Lantas, bagaimana akal bisa memahami al-Qur’an tanpa as-Sunnah?
2. Jika akal saja cukup untuk memahami al-Qur’an, tentu sia-sialah Alloh mengutus utusan-Nya untuk menjelas­kan makna al-Qur’an. Yang demikian itu tidak bisa diterima oleh akal yang waras
3. Mereka harus mengingkari sebagian ayat yang mengharuskan berpegang kepada Sunnah, termasuk ayat yang jadi pembahasan di atas.
4. Akan meninggalkan sebagian amal ibadah yang di dalam al-Qur’an masih bersifat umum -belum jelas kaifiyyahnya- , atau beribadah dengan cara yang tidak benar.
5. Mereka akan merusak makna ayat yang sebenarnya, sebagaimana perilaku kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), ahli bid’ah, pemuja ilmu kalam, dan lainnya.
Adapun contoh sebagian ayat yang membutuhkan keterangan dari as-Sunnah:
1. Surat al-Ma’idah [5]: 38 yang menjelaskan bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Akan tetapi dalam ayat tersebut tidak dijelaskan kadar barang yang dicuri, melainkan kita jumpai kadarnya lewat hadits yang shohih. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Tangan pencuri dipotong bila mencuri seperempat dinar ke atas. ” (HR. Bukhori: 6291 kitab al-Hudud, bersumber dari Aisyah rodhiyallohu anha)
2. Surat al-An’am [6]: 82 yang menjelaskan bahwa orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan zhulm (kezholiman) , mereka akan mendapat keamanan dan petunjuk. Para sahabat rodhiyallohu anhum merasa keberatan, lantaran adakah manusia yang tidak berbuat zholim kepada dirinya? Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “Bukan seperti yang kamu maksudkan, belumkah kamu mendengar perkataan Luqman kepada anaknya: Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang sangat besar (QS. Luqman [31]: 13).” (HR. Bukhori: 3100)
3. Surat al-Ma‘idah [5]: 3 menjelaskan haromnya bangkai, tetapi di dalam hadits disebutkan ada bangkai yang halal. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai, ikan dan belalang. ” (HR. Ibnu Majah: 3209, bersumber dari Ab-dulloh bin Umar rodhiyallohu anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 4132 dan ash-Shohihah: 1148)
4. Ada orang yang berpendapat bahwa sutera tidak harom bagi kaum pria karena keumuman QS. al-A’rof [7]: 32. Akan tetapi, bila merujuk kepada hadits yang shohih, kita menjumpai keharoman sutera bagi kaum pria. Ali bin Abu Tholib rodhiyallohu anhu berkata: Sesungguhnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengambil kain sutera dengan tangan kanannya dan mengambil emas dengan tangan kirinya, lalu berkata:
“Sesungguhnya dua benda ini harom untuk umatku yang laki-laki. ” (HR. Abu Dawud: 3535, dishohihkan oleh al-Albani; lihat ash-Shohihah 1/661, Shohih at-Targhib wa Tarhib 2/224)
ingkar sunnah = ingkar syahadat kerosulan nabi muhammad shollallohu alaihi wa sallam
Barangsiapa mengingkari as-Sunnah berarti mengingkari persaksiannya “Muhammad adalah utusan Alloh”. Mengapa? Karena makna syahadat yang kedua ini adalah bersaksi untuk menyanggupi beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dengan cara yang dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Juga karena beliau adalah suri teladan yang baik dalam semua urusan. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Muhammad Alu Syaikh hafidhohulloh Mufti Kerajaan Saudi Arabia- berkata: Hakikat makna syahadat “Muhammad adalah utusan Alloh” ialah sebagai berikut:
1. Beriman bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam utusan Alloh subhanahu wa ta’ala, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Fath [48]: 29.
2. Beriman bahwa risalah beliau berlaku umum untuk semua manusia, bahkan termasuk jin; lihat QS. al-A’rof [7]: 185 dan al-Ahqof [46]: 29.
3. Beriman bahwa beliau hamba -tidak boleh disembah- dan utusan -tidak berdusta dan tidak boleh didustakan- (li­hat QS. Fushshilat [41]: 6).
4. Beriman bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rosul (lihat QS. al-Ahzab [33]: 40).
5. Menaati perintahnya, membenarkan beritanya, dan memenuhi panggilannya (lihat QS. an-Nisa’ [4]: 80).
6. Mencintai, membela, dan mengagungkannya semasa beliau hidup, serta membela sunnahnya sepeninggal be­liau; sebagaimana keterangan hadits shohih, lihat pula QS. at-Taubah [9]: 24.
7. Ridho dengan hukumnya dan berpegang kepada syari’atnya (lihat QS. an-Nur [24]: 51).
8. Meniru dan mengikuti sun­nahnya serta mengembalikan semua perselisihan kepada sunnahnya (lihat QS. al-Ahz­ab [33]: 21 dan al-Hasyr [59]: 7) (Diringkas dari kitab Haqiqotu Syahadah “Wa Anna Muhamadan Rosululloh”, hal. 60-75)
Semoga dengan keterangan ini kita dapat menerima al-Qur‘an dan as-Sunnah sebagai sumber asli untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang sebenarnya. []
***
Sumber : Majalah Al-FurQon Edisi 06 Tahun IV // Muharom 1428 [Februari 2007]

Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab

Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.
Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.
Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
* Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?
Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
* Al Hathab berkata:
واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح
“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)
* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Madzhab Hambali
* Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
* Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:
« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »
“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)
* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)
Cadar Adalah Budaya Islam
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.
Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :
1.     Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.
2.     Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.
Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Penukilan pendapat-pendapat para ulama di atas merupakan kesungguhan dari akhi Ahmad Syabib dalam forum Fursanul Haq (http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=83503)
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 23 Mei 2011

Kunci Sukses Bermu’amalah

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
Dalam hidup ini, setiap insan pasti berhubungan dengan orang lain. Ia hidup dikelilingi tetangga kanan dan kiri, muka dan belakangnya, dengan berbagai macam corak ragam, tingkah laku dan latar belakangnya. Ada yang muslim, dan barangkali ada pula yang non muslim. Ada yang multazim, dan ada pula yang fasik. Ada yang terpelajar dan ada yang awam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada kita pentingnya menjaga hak-hak tetangga ini. Tetangga memiliki kedudukan yang agung dalam kehidupan beliau. Beliau bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Malaikat Jibril q senatiasa mewasiatkan agar aku berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira ia (Jibril) akan memberikan hak waris (bagi mereka)”. [Muttafaqun 'alaihi].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu :
يَا أَبَا ذَرٍّ, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاؤُهَا وَ تَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai, Abu Dzar. Jika engkau memasak makanan, perbanyaklah kuahnya, janganlah engkau lupa membagikannya kepada tetanggamu”. [HR Muslim]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan dari bahaya menggangu tetangga.
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya”. [HR Muslim]
Dengan akhlak seperti ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil menguasai hati, perasaan dan pikiran manusia. Sehingga, dalam bermu’amalah kepada manusia, kita harus mengedapankan akhlak yang terpuji.
Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku :
اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
“Bertaqwalah dimanapun engkau berada, dan iringilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia” [HR at Tirmidzi, dan ia berkata,"Hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh al Albani di dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2516]
Demikian pula dalam bermu’amalah dengan manusia, seharusnya bersikap santun, memilih kata-kata yang dapat menyejukkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa dan Harun Alaihissalam untuk berkata lemah-lembut kepada orang yang paling keras kekafirannya, yaitu Fir’aun :” Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [Thaha/20:44].
Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku :
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
“Janganlah engkau menganggap remeh suatu kebaikan, walaupun sekedar bermanis muka ketika engkau bertemu dengan saudaramu” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Diriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Jagalah dirimu dari neraka, meskipun dengan memberikan sebutir kurma. Jika kamu tidak mendapatinya, maka dengan mengucapkan kata-kata yang baik”.[Muttafaq alaihi]
Begitu pula, seharusnya menghindari sikap keras dalam bermu’amalah dan kata-kata yang kasar dalam berbicara. Allah Subhanhu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. [Ali Imran/3 : 159]
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ لاَ يَرْحَمِ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Barangsiapa yang tidak menyayangi sesama manusia, maka Allah Azza wa Jalla pun tidak akan menyayanginya” [Muttafaqun 'alaihi]
Secara tabiat, manusia tidak suka dikasari. Sulaiman bin Mihran berkata, “Tidaklah engkau membuat marah seseorang, lalu ia mau mendengarkan kata-katamu.”
Oleh karena itu, sikap kasar dan berlagak dalam berbicara merupakan perkara yang dibenci oleh Nabi. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا. وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ: قَالَ: الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang terbaik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat kelak, yaitu tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun”. Sahabat bertanya : “Ya, Rasulullah. Kami sudah mengetahui arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiqun?” Beliau menjawab,”Orang yang sombong.” [HR at Tirmidzi, ia berkata: "Hadits ini hasan". Hadits ini dishahihkan oleh al Albani dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2018]
الثَّرْثَارُونَ (tsartsarun), banyak omong dengan pembicaraan yang menyimpang dari kebenaran.
الْمُتَشَدِّقُونَ (mutasyaddiqun), kata-kata yang meremehkan orang lain dan berbicara dengan suara lagak untuk menunjukkan kefasihannya dan bangga dengan perkataannya sendiri.
الْمُتَفَيْهِقُونَ (mutafaihiqun), berasal dari kata al fahq, yang berarti penuh. Maksudnya, seseorang yang berbicara keras panjang lebar, disertai dengan perasaan sombong dan pongah, serta menggunakan kata-kata asing untuk menunjukkan, seolah dirinya lebih hebat dari yang lainnya.
At Tirmidzi juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin al Mubarak rahimahullah mengenai maksud akhlak yang mulia. Ia berkata,”Yaitu bersikap ramah, memberikan kebaikan kepada orang lain, serta tidak mengganggunya.”
Apalagi menghadapi kebanyakan orang, kita harus banyak bersabar. Jika menolak terhadap perbuatan mereka yang kasar, lakukanlah dengan cara yang terbaik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [Fushshilat/41 : 34-35].
Hal seperti ini telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah kisah disebutkan, dari Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami , ia berkata :
Ketika aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin. Aku (pun) berkata : “Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).”
Orang-orang memandang ke arahku. Aku berkata: “Malangnya ibuku! Mengapa kalian memandangku seperti itu?” Merekapun menepukkan tangan ke paha. Setelah mengerti, bahwa mereka menyuruhku diam, maka akupun diam.
Setelah Rasulullah menyelesaikan shalat, maka demi Allah, tidak pernah aku melihat seorang pendidik sebelum maupun sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau hanya berkata:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an”.
Atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku baru saja masuk Islam. Allah telah menurunkan dinul Islam kepada kami. Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mendatangi dukun.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: “Jangan datangi dukun!”
“Di antara kami masih ada yang suka bertathayyur,” lanjutku.
[Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu. Misalnya, melihat burung tertentu atau mendengar suara binatang tertentu, kemudian beranggapan akan terjadi suatu musibah. (Pen)]
Rasulullah menjawab,”Itu hanyalah sesuatu yang terlintas dalam hati, maka jangan sampai mereka menangguhkan niat karenanya.”
Kemudian aku lanjutkan: “Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mempraktekkan ilmu ramal”.
Rasulullah menjawab,”Dahulu ada nabi yang menggunakan ilmu ramal. Apabila yang terjadi sesuai dengan ramalannya, maka itu hanyalah kebetulan saja.”
Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami melanjutkan ceritanya :
“Aku memiliki beberapa ekor kambing yang digembalakan oleh salah seorang budak wanitaku di antara gunung Uhud dan bukit Jawwaniyah. Pada suatu hari, aku datang memeriksa kambing-kambingku. Ternyata seekor serigala telah membawa lari seekor kambingku. Sebagaimana lumrahnya seorang manusia, akupun marah lalu kutampar budak wanita itu. Lalu aku datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan peristiwa tersebut. Beliau menganggap perbuatanku itu sangat keterlaluan.
Maka kukatakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah. Tidakkah lebih baik jika kubebaskan saja budak wanita itu?”
Rasulullah menjawab,”Panggilah ia kemari!” Akupun memanggil budak wanita itu. Rasulullah bertanya kepadanya :
أَيْنَ اللهُ؟
“Dimana Allah?”
“Di langit,” jawabnya.
“Siapakah aku?” tanya Rasulullah lagi.
“Engkau adalah utusan Allah,” jawabnya. Maka Rasulullah pun berkata:
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mukminah”. [HR Muslim]
Coba lihat, bagaimana terjadi dialog yang panjang antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mu’awiyah bin al Hakam, yang waktu itu ia baru saja memeluk Islam. Dengan sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang santun, Mu’awiyah tergerak untuk berdialog dengan beliau. Ia mendengarkan kata-kata beliau dan mengadukan masalah-masalah yang ia hadapi kepada beliau.
Coba lihat penuturannya: “Demi Allah. Tidak pernah aku melihat seorang mu’allim (pendidik) sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkata: ‘Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an’.”
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan, setiap kali disampaikan kepada beliau sesuatu yang kurang berkenan dari seeorang, beliau tidak berkata “apa diinginkan ‘fulan’ (menyebut nama) berkata demikian”, namun beliau mengatakan “apa yang diinginkan ‘mereka’ berkata demikian”. [HR Tirmidzi].
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, pernah, suatu kali seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bekas celupan berwarna kuning pada pakaiannya (bekas za’faran). Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jarang menegur sesuatu yang dibencinya pada seseorang di hadapannya langsung. Setelah lelaki itu pergi, beliau pun berkata: “Alangkah elok bila engkau suruh lelaki itu supaya menghilangkan bekas za’faran dari bajunya”. [HR Abu Dawud dan Ahmad].
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ حُرِّمَ عَلَى النَّارِ أَوْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ ؟ تُحْرَمُ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ لَيِّنٍ سَهْلٍ
“Inginkah aku kabarkan kepadamu orang yang diselamatkan dari api neraka, atau dijauhkan api neraka darinya? Yaitu setiap orang yang ramah, lemah-lembut dan murah hati”. [HR Tirmidzi]
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata :
لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ n فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا, وَلاَ صَخَّابًا فِي الأَسْوَاقِ وَلاَ يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ, وَلكَنْ يَعْفُو وَ يَصْفَحُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang yang keji, dan (ia) tidak suka berkata keji. Beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan” [HR Ahmad].
Demikianlah akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selaku Nabi dengan penuh kasih sayang selalu memberi petunjuk dan memberi nasihat. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau.
“Al Husain, menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau. Ayahku mengatakan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa tersenyum, berbudi pekerti luhur lagi rendah hati. Beliau bukan seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang mencela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkannya, pasti tidak akan kecewa. Dan siapa saja yang memenuhi undangannya, pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara, (yaitu) riya, berbangga-bangga diri, dan dari yang tidak bermanfaat. Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara, (yaitu): beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala. Jika berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara. Pembicaraan mereka di sisi beliau hanyalah pembicaraan yang bermanfaat saja. Beliau tertawa bila mereka tertawa. Beliau takjub bila mereka takjub, dan beliau bersabar menghadapi orang asing yang kasar ketika berbicara atau ketika bertanya sesuatu kepada beliau, sehingga para sahabat g selalu mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu, guna mengambil manfaat. Beliau bersabda,”Bila engkau melihat seseorang yang sedang mencari kebutuhannya, maka bantulah dia.” Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang selayaknya. Beliau juga tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Beliau segera menghentikan pembicaraan tersebut dengan melarangnya, atau berdiri meninggalkan majelis” [HR at Timidzi].
Tak hilang dari ingatan kita, yaitu kisah seorang Arab Badui yang buang air kecil di dalam masjid, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Sesungguhnya masjid ini bukan untuk kencing atau membuang kotoran lainnya. Sesungguhnya masjid ini untuk dzikrullah dan bacaan al Qur`an.”
Rasulullah berkata kepada para sahabat : “Biarkanlah dia, dan siramlah kencingnya dengan seember air. Atau segayung air. Sesungguhnya aku diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyusahkan”.
Saking gembiranya orang Arab Badui itu, sehingga ia berdoa: “Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad, dan jangan ampuni selain kami berdua.”
Sikap-sikap seperti ini yang diterapkan dalam bermu’amalah di antara sesama manusia. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya kepada kita. Demikian pula para ulama, mereka adalah pewaris Nabi. Mereka juga telah mencontohkan sikap-sikap seperti ini dalam bermu’amalah kepada manusia. Tidak bersikap mentang-mentang dan semau gue. Sebagai misal, coba lihatlah akhlak yang dicontohkan Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin dalam bermu’amalah kepada orang lain. Beliau t mempunyai sifat ulama rabbani yang rendah hati, juga rajin membantu keluarga.
Sebagaimana dikisahkan oleh Abdul Karim bin Shalih al Muqrin dalam kitab 14 ‘Aaman Ma’a Samahatul ‘Allamah Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin.
Pada suatu hari, saat kami sedang merekam program Nurun ‘Ala Darb pada waktu dhuha. Tiba-tiba pintu diketuk seorang tukang pipa yang sudah berjanji dengan syaikh untuk memperbaiki pipa air. Maka beliau memberikan isyarat kepadaku agar menghentikan rekaman. Lalu beliau mempersilakan tukang pipa tersebut masuk. Kemudian beliau mendatangiku sambil tersenyum dan berkata: “Maaf ya Abu Khalid, kami memotong waktu Anda setengah jam untuk menperbaiki pipa air yang ada di halaman.”
Kukatakan: “Tidak mengapa ya Syaikh,” kemudian tukang pipa itu memulai pekerjaannya memperbaiki pipa, dan syaikh membantunya untuk memegang beberapa perkakas tukang pipa tersebut hingga ia selesai memperbaikinya.
Untuk memanfaatkan waktu senggang tersebut aku membaca kembali soal-soal yang akan ditanyakan kepada Syaikh. Setelah tukang pipa itu selesai memperbaiki pipa air, ia pun keluar. Lalu Syaikh mendatangiku dengan tersenyum.
Kisah yang lain yaitu, ketika rekaman sedang berlangsung lebih kurang jam sepuluh pagi, tiba-tiba ada dua orang yang mengetuk pintu, lalu Syaikh membukakan pintu dan memberikan salam. Beliau melihat, bahwa orang ini nampaknya datang dari jauh, kemudian beliau mempersilahkan untuk masuk dan mengabarkan kepada mereka, bahwa beliau sedang merekam untuk acara radio. Kemudian beliau menanyakan keperluan mereka.
Salah seorang mereka berkata: “Kami datang dari salah satu kota di negara ini yang akan menanyakan tentang masalah perceraian”. Karena salah seorang mereka telah menceraikan istrinya dan ingin rujuk. Mereka juga membawa surat pengantar dari perwakilan dakwah yang ada di kota mereka yang ditujukan kepada Syaikh, dan di dalamnya terdapat keterangan yang rinci tentang duduk permasalahannya.
Setelah beliau menanyaikan beberapa permasalahan tentang perceraian tersebut, beliau menuliskan jawaban permasalahan ini kepada kantor dakwah dan irsyad yang ada di kota mereka. Orang tersebut kelihatannya mempunyai beberapa kekurangan dalam melaksanakan syari’at. Ia memakai baju yang melebihi mata kaki, dan hal lain yang menyalahi syar’i. Adapun temannya, kelihatannya seorang yang taat.
Satu jam lamanya syaikh melayani keperluan orang ini. Setelah beliau selesai memberikan fatwa kepada orang ini, Syaikh mengingatkannya agar memperbaiki pakaiannya, dan memberi nasihat agar mereka berusaha melakukan amalan-amalan kebaikan, serta menghindari hal-hal yang dilarang syar’i. Kemudian syaikh pergi ke dalam untuk menghidangkan teh, kopi dan kurma. Kami duduk bersama beliau sambil menikmati teh dan kopi tersebut.
Di tengah pembicaraan kami, orang yang mempunyai permasalahan tersebut berkata: “Ya Fadhilatusy- Syaikh. Aku banyak mempunyai kekurangan dalam menjalankan syari’at. Namun setelah Anda menasihatiku, melepaskan dari kesulitan yang menimpaku, dan setelah aku rujuk kepada istriku, aku berjanji kepada Allah kemudian kepadamu, untuk istiqamah dan melakukan amal kebaikan serta mentaati Rabb-ku.”
Mendengar hal itu, Syaikh merasa gembira dan wajahnya berbinar-binar. Kemudian kedua orang itu pamit dan mencium kening Syaikh serta berdoa untuk beliau. Kemudian, sekitar pukul setengah dua belas kami meneruskan rekaman. Kisah ini masih segar di ingatanku. Syaikh berkata: “Tahukah engkau, ya Abdul Karim betapa banyak pahala yang kita peroleh jika orang itu bertaubat, melaksanakan kebaikan dan melakukan amal shalih,” lalu beliau tersenyum dan memuji Allah, kemudian kami meneruskan rekaman.
Juga terdapat kisah lainnya.
Kami bertugas di bagian perekaman. Ketika kami merekam beberapa pertemuan untuk program siaran Nurun ‘Ala Darb, pada saat yang sama terdengar suara pekerja bangunan yang sedang bekerja di dekat rumah beliau, yaitu tetangga beliau. Kelihatannya ia sedang membetulkan sesuatu pada mesin, dan suara tersebut masuk ke dalam rekaman. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berdiri mendatangi mereka, meminta agar mereka menghentikan pekerjaan tersebut. Ketika sampai di pintu ruangan, beliau kembali dan bertanya: “Wahai Abdul Karim, siapa yang mulai terlebih dahulu?”
“Mereka, ya Syaikh,” jawabku.
Karena kewara’an dan kekhawatirannya, beliau membiarkan mereka bekerja, beliau berkata: “Kalau begitu, kita tunda dulu rekaman ini sampai mereka menyelesaikan pekerjaan tersebut”.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas.
Walau bagaimanapun keadaan saudara-saudara kita sesama muslim yang awam itu, mereka ibarat tambang emas dan perak. Jikalau Allah membuka hati mereka untuk menerima kebenaran, maka akan menjadi asset yang berguna bagi Islam. Bahkan kadang kala, mereka rela berkorban demi membela agama ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا وَالْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Manusia ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak. Orang yang mulia pada masa jahiliyah, akan menjadi orang yang mulia juga dalam Islam apabila ia berilmu. Ruh ibarat pasukan yang dikumpulkan, ia akan bersatu jika serasi dan akan berselisih jika tidak serasi”. [HR Muslim].
Setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tidak ada manusia yang sempurna. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan, semua anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang cepat-cepat bertaubat. Ini merupakan asas yang paling agung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan asas tersebut dalam bermu’amalah terhadap manusia.
Jika kita membangun hubungan mu’amalah kita dan sikap kita terhadap manusia atas dasar akhlak-akhlak yang terpuji, niscaya kita melihat sambutan yang hangat dari mereka. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Tidak beriman salah seorang dari kamu, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. [Muttafaqun 'alaihi]
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ash-habihi wa sallam.
Maraji’:
1. Al Qur`anul-Karim.
2. 14 ‘Aaman Ma’a Samahatul-Allamah Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin, Penyusun: Abdul Karim bin Shalih al Muqrin.
3. Ad-Durruts-Tsamin min Riyadhish-Shalihin, Abdul ‘Aziz Sa’ad al ‘Utaibi.
4. Mausu’ah Adab Islami, ‘Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nidaa.
5. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
6. Tafsir al Qur`anul-’Azhim, Ibnu Katsir.
7. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani.
7. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ at-Tirmidzi, al Mubarakfuri.
8. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi.
9. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]