Rabu, 11 Mei 2011

Kecipratan’ Harta Korupsi, Diapakan?

Ustadz mohon pencerahannya. Saya bekerja di salah satu instansi dimana setelah saya berkecimpung setahun lebih, saya melihat banyak hal-hal yang bisa dibilang tidak bisa diterima nurani saya. Ada istilah ‘korupsi berjamaah’ dimana me-mark up dana kegiatan dan memalsukan bukti pembayaran menjadi kebiasaan. Sedangkan honor-honor yang seharusnya menjadi hak saya malah tidak dibayarkan, tetapi di sisi lain yang tidak seharusnya hak saya malah diberikan. Aneh betul, ustadz.
Saya ingin bertanya ustadz, jika saya menerima uang dari hasil seperti itu apakah haram ustadz?
Apabila saya tolak, saya takut dikucilkan dari pergaulan, dianggap belagu karena saya anak baru. Kalau saya berikan ke teman kantor juga sama saja teman saya yang makan uang “gak jelas” itu (karena tidak mungkin dikembalikan ke kas negara). Apabila uang yang saya terima itu saya masukkan ke yayasan panti asuhan atau lembaga sosial bagaimana ustadz? Maksudnya agar orang yang membutuhkan saja memanfaatkan uangnya, toh mereka lebih berhak. Tapi apakah saya pantas memberikan uang yang “tidak jelas” itu ke orang-orang tidak berdosa?

Saya bingung ustadz, pengetahuan agama saya masih minim, tapi saya tidak mau melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani saya. Mohon bantuannya ustad jawabannya dikirimkan via email supaya saya bisa baca kalo lupa mampir lagi ke website ini. Mohon sekali bantuannya ustadz ya biar hati saya tenang.
Terima kasih Ustadz. Assalamu’alaikum
Seorang Muslimah
purenamus*****@yahoo.com
Ustadz Ammi Nur Baits menjawab:
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,
Bismillah...
Semoga apa yang anda tanyakan, bisa kita temukan jawabannya pada penjelasan berikut, yang saya kutip dari buku Fiqih Walimah Nikah:
Bab: Manusia Berpenghasilan Haram
Sebagian ulama merinci masalah ini menjadi dua rincian:
Pertama, seluruh hartanya haram. Sebagian Malikiyah menyatakan bahwa, barangsiapa yang seluruh hartanya dari yang haram maka haram mengambil sedikitpun dari harta tersebut. Demikian pula jika diketahui bahwa makannnya dibeli dari harta yang haram (Syarh Mukhtashar Khalil li Al Khursyi, 21/500). Hal yang sama juga dinyatakan oleh sebagian ulama madzhab Hambali bahwa orang yang seluruh hartanya haram maka haram pula memakannya.
Kedua, sebagian besar hartanya haram. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian syafi’iyah berpendapat makruh. Ketika menjelaskan kaidah ushul dalam madzhab Syafi’iyah yang redaksinya: “idzaa ijtama’a al halal wa al haram ghuliba al haram” (jika terkumpul sesuatu yang halal dan yang haram maka dimenangkan yang haram), kemudian As Suyuthi menyebutkan beberapa catatan terkait dengan masalah ragu dalam menentukan yang haram. Diantaranya adalah ragu namun tidak diketahui asalnya, dan beliau memberikan contoh: “Bertransaksi dengan orang yang sebagian besar hartanya haram, jika tidak diketahui jenis benda (yang haram) maka tidak terlarang, menurut pendapat yang lebih benar, namun dimakruhkan. Demikian pula, mengambil pemberian penguasa jika kebanyakan hartanya haram (Al Asybah wa An Nadhair-Syafi’I, 209). Demikian pula ditegaskan oleh An Nawawi dalam Syarh Al Muhadzab bahwa pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’I adalah makruh bukan haram, tidak sebagaimana pendapat Ghazali.
Al Marudzi bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang bekerja dengan riba, bolehkan makan hartanya? Imam Ahmad menjawab: “Tidak boleh. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang makan riba dan memberi makan orang lain dengan riba. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menahan diri ketika ada ketidak-jelasan antara yang halal dan yang haram.”
Syaikhul Islam ditanya tentang orang yang sebagian besar hartanya haram. Apakah transaksi dengan orang ini haram ataukah makruh? Kemudian beliau menukil perkataan Imam Ahmad, yang ringkasnya bahwa jika diketahui dengan pasti bahwa benda A inilah yang haram maka tidak boleh diterima. Namun jika kebanyakan hartanya haram dan tidak diketahui maka (sebaiknya) menghindarkan dirinya dari hal ini, kecuali jika harta haram tersebut sedikit dan tidak diketahui.
Sedangkan sebagian ulama’ Hambali berpendapat tidak haram secara mutlak baik harta yang haram tersebut banyak maupun sedikit, akan tetapi makruh. Lemah dan kuatnya hukum makruh ini sebanding dengan banyak dan sedikitnya harta yang haram. (Al Furu Ibn Muflih 4/403). Pendapat terakhir yang dinukil Ibnu Muflih ini dinilai paling tepat oleh Al Mardawi dalam Tashih Al Furu’ (Fatawa Syabakah Islamiyah no. 6880).
Sebagian ulama membedakan antara harta yang haram karena dzatnya – seperti babi, khamr – dan yang haram karena sifat – seperti harta riba –. Untuk harta yang haram karena sifatnya, maka yang menanggung dosa adalah pemiliknya bukan orang yang menerima harta ini dengan jalan yang mubah, semacam jamuan makan atau pemberian. Rincian semacam ini dinilai paling kuat oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin (Al Qoul Al Mufid 2/243). Syaikh Al Utsaimin berdalil dengan mu’amalah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang yahudi. Padahal telah dipahami bahwa harta orang yahudi kebanyakan dari riba dan sesuatu yang haram lainnya, seperti uang suap dan sogok. Disamping itu, pendapat ini juga didukung oleh kaidah dalam ilmu fiqh: tabaadul asbaabil milki ka tabaadulil a’yaan (perubahan sebab kepemilikan suatu benda sebagaimana perubahan status benda tersebut).
Oleh karena itu, jika kita menguatkan pendapat yang terakhir ini maka status uang tersebut halal bagi yang menerima, karena uang tersebut statusnya sebagai gaji anda.
Satu hal lagi yang perlu kita perhatikan, anda memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan kesalahan ini. Semoga Allah membimbing kita meniti jalan hidayah. Wa Allahu A’lam.

Artikel UstadzKholid.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar