Kamis, 30 Juni 2011

Hadits 2 Kitab Bulughul Marram (Hukum Asal Air adalah suci) – Selesai

4. Masa’il
Ada beberapa masalah seputar hadits ini, diantaranya:
• Pertama: Pembagian Air dari Sisi Penamaannya
Berdasarkan konteks umum pada hadits ini pula, kalangan fuqaha` Islam membagi air dari tinjauan yang lebih umum menjadi dua bagian. Yaitu air mutlak dan air muqayyad.
  • Air mutlak (المَاءُ المُطْلَقُ) adalah air yang tetap berada pada asal penciptaannya. Yaitu bahwa setiap sifat/karakter air yang Allah ciptakan mengiringi zat air, baik itu sifat panas, dingin, tawar, asin ataukah selainnya. Baik air tersebut tercurah dari langit (hujan, embun dan selainnya) ataukah yang memancar dari dalam tanah (mata air, air laut, sungai dan selainnya). Jika air tersebut berada pada asal sifat air yang diciptakan Allah, maka air tersebut adalah air yang thahur yaitu pada hukum penggunaannya.

Di antara fuqaha Islam ada yang mengatakan dalam menafsirkan air mutlak ini sebagai,“air yang mana sudut pandang pemahaman setiap orang akan sama dalam menilai kemutlakan penamaan air. Semisal pada air sungai, air mata air, air telaga, air hujan dan semisalnya. Dengan demikian diperbolehkan berwudhu` -dan juga mandi- dengan kesemua air tersebut, baik ragam air tersebut berada pada tempatnya masing-masing  ataukah berada pada bejana-bejana air.” Karena perpindahan air tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya tidaklah menggugurkan kemutlakan penamaan air dari air tersebut. Ataukah dapat dibahasakan bahwa air mutlak adalah air yang berlaku penamaan air tanpa adanya indikasi lain yang menjadi sifat lazimnya, semisal bentuk penisbatan pada air bunga.
  • Air muqayyad (المَاءُ المُقَيَّدُ) adalah kebalikan dari air mutlak diatas. Yaitu air yang mana sudut pandang setiap orang tidaklah segera memutuskan adanya kemutlakan penamaan suatu air. Air ini adalah air yang keluar dari perasan sesuatu (sari pati), semisal air perasan kayu, air perasan buah dan bunga dan semisalnya.
Termasuk juga dalam kategori air muqayyad adalah setiap air mutlak yang bercampur dengan zat-zat cair lainnya –baik zat cair tersebut suatu yang thahir atau najis-. Dimana pencampuran zat cair tersebut pada air mutlak sampai pada taraf hilangnya penamaan kemutlakan air, misalnya air cuka, air susu dan selainnya. Air mutlak yang telah mengalami perubahan sifat kemutlakannya tersebut karena bercampur dengan sesuatu yang thahir, hingga percampuran tersebut menghilangkan penamaan kemutlakan air pada suatu air mutlak tidaklah tergolong sebagai air yang thahur. Dengan kata lain, sifat ath-thahuriyah pada air mutlak tersebut telah sirna seiring dengan hilangnya kemutlakan penamaan air padanya, baik kadar air tersebut banyak atau sedikit.
• Kedua: Hukum Thaharah dengan Air Mutlak
Pada dasarnya, jenis air yang diperbolehkan untuk thaharah (wudhu` atau mandi) adalah air yang berada pada kemutlakannya. Berdasarkan beberapa dalil berikut,
Pertama, Firman Allah ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48)
Kedua, hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas.
Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab ash-Shahih beliau, bahwa Nabi bersabda di dalam doa beliau,
“Wahai Allah sucikanlah aku dengan salju, air dan es.”
Keempat, hadits Abu Hurairah tentang hukum pemakaian air laut untuk thaharah, yang telah kita sebutkan pada edisi sebelumnya.
Kelima, konsensus ulama sebagaimana kutipan beberapa ulama
• Ketiga: Pembagian Air Mutlak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian air mutlak ini dalam beberapa pendapat, namun yang rojih bahwa air terbagi menjadi dua bagian; suci mensucikan (thahur) dan air najis. Berdasarkan firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48)
Demikian juga keumuman hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas.
Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di : Maksudnya, hadits ini (hadits Abu Sa’id) menunjukkan air terbagi menjadi dua bagian:
  1. Najis yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, baik sedikit ataupun banyak
  2. Thahur yaitu yang selainnya.
Penetapan jenis ketiga yang tidak thahur dan tidak juga najis bahkan dikatakan thahir tidak berdasarkan dalil syar’i, sehingga tetap berada pada asal kesuciannya (thahuriyah). Keumuman hadits ini dikuatkan dengan firman Allah :
فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. Al-Maaidah: 6)
ini bersifat umum untuk semua air karena nakirah dalam kontek penafian, sehingga mencakup seluruh air dan keluar darinya air najis karena adanya ijma’. (Bahjah Quluub Al-Abraar hlm 136)
sedangkan Syeikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baaz menyatakan: Yang benar, air mutlak terbagi menjadi dua; thahur dan najis. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48) dan firmanNya juga:
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَآءِ مَآءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ اْلأَقْدَامَ
“(Ingatlah), Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).”  (QS. Al-Anfal:11)
Nabi bersabda:
إنَّ المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيءٌ
Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis.”
Maksudnya adalah kecuali yang berubah, rasa, bau atau warnanya karena kecampuran najis, maka ia najis menurut ijma’ ulama. Sedangkan yang tercampur dalam air berupa minuman, daun, atau sejenisnya, maka tidak membuat najis air tersebut dan tidak hilang sifat thahuriyahnya selama masih dinamakan air. Apabila telah berubah penamaan airnya dengan sebab campuran tersebut kepada nama lain seperti susu, kopi, teh dna sejenisnya, maka ia keluar dengan sebab itu dari nama air dan tidak dinamakan air lagi, namun ia tetap suci walaupun adanya campuran ini dan tidak najis. (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat Syeikh Bin Baaz 10/56)
• Keempat: Air Tercampur Benda Suci.
Pencampuran air dengan zat-zat thahir sendiri terbagi atas beberapa kondisi pencampuran yang mengakibatkannya dinisbatkan kepada benda tersebut.
Penisbatan itu diantaranya:
Pertama: Penisbatan yang tidak memberi sifat thaharah pada satu riwayat –yaitu di mazhab Imam Ahmad-. Yang mana terdiri atas tiga jenis,
  1. Air sari pati dari zat yang thahir, semisal sari pati bunga, cengkeh dan termasuk juga tetesan air (getah) dari belahan –kayu- pohon apabila dipotong  dalam keadaan basah.
  2. Zat thahir yang bercampur dengan air hingga merubah penamaan air tersebut ataukah unsur-unsur zat thahir tersebut lebih mendominasi, semisal cuka dan selainnya.
  3. Air yang dipergunakan untuk merebus sesuatu zat yang thahir hingga merubah nama air.
Kedua: Penisbatan yang diperbolehkan untuk berwudhu` pada satu riwayat –dalam mazhab Imam Ahmad-, yang terdiri atas tiga bagian:
  1. Penisbatan yang tidak menyebabkan pencampuran, dan semacam ini tidak terdapat perbedaan diantara ulama.
  2. Pencampuran dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari, semisal tanaman (lumut atau semisalnya) yang  tumbuh di dalam air ataukah dedaunan yang terjatuh ke dalam air.
  3. Pencampuran dengan suatu yang memiliki sifat ath-thahuriyah sebagaimana sifat air itu sendiri. Semisal tanah, yang walau merubah sifat air namun tidak menghalangi sifat ath-thahuriyah air karena kedua-duanya memiliki sifat ath-thahuriyah.
  4. Pencampuran akibat persinggungan dengan air tanpa mengalami penyatuan zat. Semisal krim gel atau zat-zat thahir berbentuk padatan selama tidak melebur dengan air.
• Kelima: Air Mutlak Tercampur najis
Tercampurnya pencampuran air mutlak dengan suatu yang najis, beberapa ulama Islam dari berbagai mazhab menyebutkan adanya konsensus/kesepakatan ulama bahwa air tersebut telah menjadi najis, jika najasah/najis yang berada dalam air telah merubah unsur-unsur dan sifat dasar air.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit atau banyak, apabila suatu najis terjatuh ke dalamnya dan najis tersebut merubah rasa, warna atau aroma air, maka air tersebut dihukumi najis. Berwuhdu` dan mandi dengan air tersebut tidak sah.”
Kutipan yang senada dengan pernyataan Ibnul Mundzir di atas juga disampaikan oleh Ibnu Qudamah serta Ibnu Rusyd dan beliau menambahkan, “Dan mereka –para ulama- sepakat bahwa air dalam kapasitas yang sangat banyak yang tidak mengalami perubahan sifat-sifatnya (akibat adanya najsi pada air tersebut), air yang sangat banyak tersebut hukumnya thahir.”
Asy-Syaukani dalam menguatkan hal di atas mengatakan, “Dan persinggungan langsung (antara air dan najis) bukanlah tolak ukur dan bukan juga sebab berlakunya hukum najis kecuali jika najis tersebut telah merubah sifat-sifat air. Jikalau salah satu dari sifat-sifat dasar air telah mengalami perubahan, maka air telah dihukumi sebagai najis, baik air itu dekat atau berada jauh dari zat najis.”
(Lihat juga pembahasan ini di dalam Al-Hawi Al-Kabir 1/37-39, Al-Mughni 1/13-20, Al-Lubab 1/39-40, Al-Ausath 1/260, Bidayah Al-Mujtahid 1/72, Syarh Al-Muntaha 1/14, Nail Al-Authar 1/190-191, as-Sail Al-Jarrar 1/54, ar-Raudhah an-Nadiyah 1/53, Asy-Syarh Al-Mumti’ 1/24)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.

Agama Islam untuk Seluruh Manusia

Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah beliau diutus oleh Allah untuk seluruh manusia dan jin. Adapun seluruh Nabi sebelum beliau hanyalah diutus untuk umatnya masing-masing.
Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِ وَيُمِيتُ فَئَامِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua, yaitu Alloh yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Alloh dan RosulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. [QS. Al-A’rof (7): 158]
Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah,

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui. [QS. Saba’ (34): 28]
Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar dakwah agama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad , yang membawa kitab suci Al-Qur’an, kemudian tidak beriman, tidak percaya dan tidak tunduk, maka dia adalah orang kafir dan di akhirat menjadi penghuni neraka, kekal selamanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِهِ مِنَ اْلأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلاَ تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِّنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ

Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancam-kan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Robbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. [QS. Hud (11): 17]
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun di kalangan umat ini, Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengan-nya, kecuali dia termasuk para peng-huni neraka. [Hadits Shohih Riwayat Muslim, no: 153, dari Abu Huroiroh]
NABI-NABI DAHULU KHUSUS UNTUK KAUMNYA
Adapun seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad , maka mereka semua di utus khusus kepada umatnya masing-masing. Perkara ini merupakan perkara yang telah pasti di dalam agama Islam, sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Aku diberi (oleh Allah) lima perkara, yang itu semua tidak diberikan kepada seorang-pun sebelumku.
Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum kedata-nganku) sejauh perjalanan sebulan;
Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat bersuci (untuk tayammum-pen). Maka siapa saja dari umatku yang (waktu) sholat menemuinya, hendaklah dia sholat.
Ghonimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk seorangpun sebelumku.
Aku diberi syafa’at (oleh Allah).
Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya.

[Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 335]
Di zaman ini banyak orang-orang Kristen menyebarkan agama mereka ke berbagai pelosok dunia. Mereka menisbatkan agama mereka kepada Nabi Isa bin Maryam , yang mereka menyebutnya dengan Yesus. Padahal Nabi Isa bin Maryam hanya diutus kepada Bani Isroil. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَاءِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ

Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurot dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff (61): 6]
KESAKSIAN AYAT BIBEL
Dan ternyata kita masih menda-patkan di antara ayat-ayat Bibel (Kitab yang dianggap suci oleh orang-orang Nashoro) menjelaskan dengan tegas bahwa Nabi Isa (yang mereka sebut Yesus) hanya diutus kepada Bani Isroil saja. Marilah kita perhatikan ayat-ayat di dalam kitab mereka:
1-Disebutkan di dalam Bibel: “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”. (Matius 15: 24)
2-Disebutkan di dalam Bibel: “Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyim-pang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melain-kan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”. (Matius 10: 6)
Walaupun ayat-ayat Bibel di atas begitu jelas menyatakan bahwa ajaran Kristen hanya untuk Bani Israel, namun pengikut-pengikut Kristen begitu giat menyebarkan agamanya kepada semua bangsa, termasuk di Indonesia. Bahkan sampai ke ber-bagai pelosok yang tidak ada orang Bani Israel di sana! Maka apakah manfaat bangsa selain Bani Israel yang mengikuti agama Kristen, yang pembawa agama itu telah mene-gaskan bahwa agamanya hanya untuk umat Israel?!
Atau mungkin mereka berpegang ayat lain pada kitab mereka yang memerintahkan untuk menyebarkan agama Kristen kepada seluruh bangsa. Ayat itu berbunyi: “Karena itu pergi-lah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptiskan mereka dalam nama Bapa dan anak dan Roh Kudus”. (Matius 28:19)
Ini berarti ayat ini bertentangan dengan ayat-ayat di atasnya! Maka manakah yang benar? Yang pasti bahwa tidak ada jaminan kebenaran terhadap semua isi kitab Bibel, bahkan bukti-bukti menunjukkan banyak ayat yang dipalsukan. Maha benar Allah Ta’ala yang telah berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an,

أَفَتَطْمَعُونَ أَن يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka (Ahli Kitab) mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya setelah mereka memahaminya, sedang mereka menge-tahui? [QS. Al-Baqoroh (2): 75]
Dan Allah mengancam dengan keras terhadap orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dengan firmanNya,

فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلُُلَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit (yakni kesenangan duniawi-pen) dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang telah mereka tulis dengan tangan-tangan mereka, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan. [QS. Al-Baqoroh (2): 79]
– Semoga Allah selalu menetapkan kita di atas jalan yang lurus. -
Penulis: Ustadz Muslim Atsari

Sabtu, 25 Juni 2011

Sebagaimana Engkau Menjalani Hidupmu Demikianlah Kondisimu Tatkala Ajal Menjemputmu…..!!!

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
"Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya" (HR Muslim no 2878)
Berkata Al-Munaawi, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ "Yaitu ia meninggal di atas kehidupan yang biasa ia jalani dan ia dibangkitkan di atas hal itu" (At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir 2/859)
Para pembaca yang budiman… kita semua tahu bahwasanya kematian datang tiba-tiba…tidak peduli dengan kondisi seorang hamba apakah dalam keadaan ketaatan kepada Allah atau dalam keadaan sedang bermaksiat…, apakah dalam keadaan sakit ataupun dalam keadaan sehat… semuanya terjadi tiba-tiba…

Seorang penyair berkata :

تَزَوَّدْ مِنَ التَّقْوَى فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي***  إِذَا جَنَّ لَيْلٌ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
Berbekallah ketakwaan karena sesungguhnya engkau tidak tahu…
Jika malam telah tiba apakah engkau masih bisa hidup hingga pagi hari
وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ *** وَكَمْ مِنْ عَلِيْلٍ عَاشَ حِيْناً مِنَ الدَّهْرِ
Betapa banyak orang yang sehat kemudian meninggal tanpa didahului sakit…
Dan betapa banyak orang yang sakit yang masih bisa hidup beberapa lama
فَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا *** وَقَدْ نُسِجَتْ أَكْفَانُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِِي
Betapa banyak pemuda yang tertawa di pagi dan petang hari
Padahal kafan mereka sedang ditenun dalam keadaan mereka tidak sadar
وَكَمْ مِنْ صِغَارٍ يُرْتَجَى طُوْلُ عُمْرِهِمْ *** وَقَدْ أُدْخِلَتْ أَجْسَامُهُمْ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ
Betapa banyak anak-anak yang diharapkan panjang umur…
Padahal tubuh mereka telah dimasukkan dalam kegelapan kuburan
وَكَمْ مِنْ عَرُوْسٍ زَيَّنُوْهَا لِزَوْجِهَا *** وَقَدْ قُبِضَتْ أَرْوَاحُهُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Betapa banyak mempelai wanita yang dirias untuk dipersembahkan kepada mempelai lelaki…
Padahal ruh mereka telah dicabut tatkala di malam lailatul qodar

Tentunya setiap kita berharap dianugrahi husnul khotimah… ajal menjemput tatkala kita sedang beribadah kepada Allah… tatkala bertaubat kepada Allah…sedang ingat kepada Allah… , akan tetapi betapa banyak orang yang berharap meninggal dalam kondisi husnul khotimah akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya…. Suul khootimah… maut menjemputnya tatkala ia sedang bermaksiat kepada Penciptanya dan Pencipta alam semesta ini…
Bagaimana mungkin seseorang meninggal dalam kondisi husnul Khotimah sementara hari-harinya ia penuhi dengan bermaksiat kepada Allah… hari-harinya ia penuhi tanpa menjaga pendengarannya… pandangannya ia umbar… hatinya dipenuhi dengan beragam penyakit hati… lisannya jauh dari berdzikir dan mengingat Allah…
Ingatlah para pembaca yang budiman… sesungguhnya seseorang akan dicabut nyawanya berdasarkan kehidupan yang biasa ia jalankan…
Berikut ini adalah kisah-kisah yang mencoba menggugah hati kita untuk membiasakan diri beramal sholeh sehingga tatkala maut menjemput kitapun dalam keadaan beramal sholeh :

Kisah Pertama: kisah seorang ahli ibadah Abdullah bin Idriis (190-192 H)
عَنْ حُسَيْن الْعَنْقَزِي قَالَ: لَمَّا نَزَلَ بِابْنِ إِدْرِيْسَ الْمَوْتُ بَكَتْ ابْنَتُهُ فَقَالَ: لاَ تَبْكِي يَا بُنَيَّة، فَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْآنَ فِي هَذَا الْبَيْتِ أَرْبَعَةَ آلاَف خَتْمَة
Dari Husain Al-'Anqozi, ia bertutur :
Ketika kematian mendatangi Abdullah bin Idris, maka putrinya pun menangis, maka Dia pun berkata: "Wahai putriku, jangan menangis! Sungguh, Aku telah mengkhatamkan al Quran dirumah ini 4000 kali" (Lihat Taariikh Al-Islaam karya Ad-Dzahabi 13/250, Ats-Tsabaat 'inda Al-Mamaat karya Ibnil Jauzi hal 154)

Kisah kedua : Kisah Abu Bakr bin 'Ayyaasy (193 H)
لما حضرت أبا بكر بن عَيَّاش الوفاةُ بَكَتْ أُخْتُهُ فقال : لاَ تَبْكِ اُنْظُرِي إِلىَ تِلْكَ الزَّاوِيَةِ الَّتِي فِي الْبَيْتِ قَدْ خَتَمَ أَخُوْكَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَلَف خَتْمَة
Tatkala kematian mendatangi Abu Bakr bin 'Ayaasy maka saudara perempuannya pun menangis. Maka Abu Bakrpun berkata kepadanya, "Janganlah menangis, lihatlah di pojok rumah ini, sesungguhnya saudara laki-lakimu ini telah mengkhatamkan Al-Qur'an di situ sebanyak 18 ribu kali" (Lihat Hilyatul Auliyaa' karya Abu Nu'aim 8/304 dan Taariikh Baghdaad 14/383)
Demikianlah para pembaca yang budiman…Ahli ibadah ini Abdullah bin Idris telah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 4000 kali… Abu Bakr bin 'Ayyaasy telah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 18 ribu kali…..semuanya demi menghadapi waktu yang sangat kritis ini… waktu untuk meninggalkan dunia ke alam akhirat yang abadi….

Kisah Ketiga : Kisah Aamir bin Abdillah Az-Zubair
Mush'ab bin Abdillah bercerita tentang 'Aamir bin Abdillah bin Zubair yang dalam keadaan sakit parah :
سمع عامر المؤذن وهو يجود بنفسه فقال: خذوا بيدي إلى المسجد، فقيل: إنك عليل فقال: أسمع داعي الله فلا أجيبه فأخذوا بيده فدخل مع الإمام في صلاة المغرب فركع مع الإمام ركعة ثم مات

'Aaamir bin Abdillah mendengar muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat maghrib, padahal ia dalam kondisi sakaratul maut pada nafas-nafas terakhir, maka iapun berkata, “Pegang tanganku ke mesjid…!!” merekapun berkata, "Engkau dalam kondisi sakit !" , Diapun berkata,”Aku mendengar muadzin mengumandangkan adzan sedangkan aku tidak menjawab (panggilan)nya? Pegang tanganku…! Maka merekapun memapahnya lalu iapun sholat maghrib bersama Imam berjama'ah, diapun shalat satu rakaat kemudian meninggal dunia. (Lihat Taariikh Al-Islaam 8/142)
Inilah kondisi seorang alim yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan beribadah sesegera mungkin… bahkan dalam kondisi sekarat tetap ingin segera bisa sholat berjama'ah…. Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita… yang tatkala dikumadangkan adzan maka hatinya berbisik : "Iqomat masih lama…., entar lagi aja baru ke mesjid…, biasanya juga imamnya telat ko'…, selesaikan dulu pekerjaanmu.. tanggung…", dan bisikan-bisikan yang lain yang merupakan tiupan yang dihembuskan oleh Iblis dalam hatinya.

Kisah Di masa Sekarang:
Pertama : Kisah Penumpang Kapal Mesir “Salim Express”
Laki-laki ini telah Allah selamatkan dari tenggelam pada kecelakaan kapal, “Salim Express” menceritakan kisah istrinya yang tenggelam dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji. Orang-orang berteriak-teriak “kapal akan tenggelam” maka aku pun berteriak kepada istriku …“ayo cepat keluar!”
Dia pun berkata, “Demi Allah aku tidak akan keluar sampai aku memakai hijabku dengan sempurna.”
Suaminya pun berkata,” inikah waktu utk memakai hijab??? Cepat keluar! Kita akan mati”.
Dia pun berkata, “Demi Allah aku tidak akan keluar kecuali jika telah kukenakan hijabku dengan sempurna, seandainya aku mati aku pun akan bertemu Allah dalam keadaan mentaati-Nya”. Maka dia pun memakai hijabnya dan keluar bersama suaminya, maka ketika semuanya hampir tenggelam, dia memegang suaminya dan berkata, “Aku minta engkau bersumpah dengan nama Allah, apakah engkau ridho terhadapku?” Suaminya pun menangis. Sang istripun berkata, ”Aku ingin mendengarnya.” Maka Suaminya Menjawab, “Demi Allah aku ridho terhadapmu.” Maka wanita tersebut pun menangis dan berucap ”Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah” senantiasa dia ulangi syahadat tersebut sampai tenggelam.
Suaminya pun menangis dan berkata, “Aku berharap kepada Allah agar mengumpulkan aku dan dia di surga”
Kedua : Kisah seorang tukang adzan (Muadzdzin)
Dia adalah seorang yang selama 40 tahun telah mengumandangkan adzan, tanpa mengharap imbalan selain wajah Allah. Sebelum meninggal ia sakit parah, maka dia pun didudukkan di atas tepat tidur. Dia tak dapat berbicara lagi dan juga untuk pergi kemasjid. Ketika sakit semakin parah diapun menangis, orang-orang disekitarnya melihat adanya tanda-tanda kesempitan di wajahnya. Seakan-akan dia berucap ya Allah aku telah beradzan selama 40 tahun, engkau pun tahu aku tidak mengharap imbalan kecuali dari Engkau kemudian akan terhalangi dari adzan di akhir hidupku?. Kemudian berubahlah tanda-tanda diwajahnya menjadi kegembiraan dan kesenangan. Anak-anaknya bersumpah bahwasanya  ketika tiba waktu adzan ayah mereka pun berdiri di atas tempat tidurnya dan menghadap kiblat kemudian mengumandangkan adzan di kamarnya, ketika sampai pada kalimat adzan yang terkahir "laa ilaaha illallah” dia pun jatuh di atas tempat tidurnya. Anak-anaknya pun segera menghampirinya, mereka pun mendapati ruhnya telah menuju Allah.

Para pembaca yang budiman…jika kematian telah tiba maka seluruh harta dan kekuasaan yang telah kita usahakan dan perjuangakan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan peras keringat akan sirna…
Kisah Khalifah Al-Ma'muun,
Ketika sakaratul maut mendatanginya diapun memanggil para tabib di sekelilingnya berharap agar bisa menyembuhkan penyakitanya. Tatkala ia merasa berat (parah sakitnya) maka ia berkata, "Keluarkanlah aku agar aku melihat para pasukan perangku dan aku melihat anak buahku serta aku menyaksikan kekuasaanku", takala itu di malam hari. Maka Khalifah Al-Makmuun pun dikeluarkan lalu ia melihat kemah-kemah serta pasukan perangnya yang sangat banyak jumlahnya bertebaran di hadapannya, dan dinyalakan api. (Tatkala melihat itu semua) iapun berkata, يَا مَنْ لاَ يَزُوْلُ مُلْكُهُ اِرْحَمْ مَنْ قَدْ زَالَ مُلْكُهُ “Wahai Dzat yang tidak akan pernah musnah kerajaannya… Sayangilah orang yang telah hilang kerajaannya…". Lalu iapun pingsan.
Kemudian datanglah seseorang disampingnya hendak mentalqinnya kalimat syahadah, lalu Khalafah Al-Makmuun membuka kedua matanya tatkala itu dalam keadaan wajahnya yang merah dan berat, ia berusaha untuk berbicara akan tetapi ia tidak mampu. Lalu iapun memandang ke arah langit dan kedua matanya dipenuhi dengan tangisan maka lisannya pun berucap tatkala itu, يَا مَنْ لاَ يَمُوْتُ اِرْحَمْ مَنْ يَمُوْتُ "Wahai Dzat Yang tidak akan mati sayangilah hambaMu yang mati", lalu iapun meninggal dunia. (Lihat Muruuj Adz-Dzahab wa Ma'aadin Al-Jauhar karya Al-Mas'uudi 2/56 dan Taariik Al-Islaam karya Adz-Dzahabi 15/239)

Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwaan:
Tatkala ajal menjemput Khalifah Abdul Malik bin Marwaan maka iapun memerintahkan untuk dibukakan pintu istana, tiba-tiba ada seorang penjaga istana yang sedang mengeringkan bajunya di atas batu, maka iapun berkata, "Siapa ini?", maka mereka menjawab, "Seorang penjaga istana". Maka iapun berkata, "Seandainya aku adalah seorang penjaga istana…". Ia juga berkata, "Seandainya aku adalah budak miliki seorang yang tinggal di pegunungan Tihaamah, lantas akupun menggembalakan kambing di pegunungan tersebut".
Diantara perkataan terakhir yang diucapkannya adalah,
اللَّهُمَّ إِنْ تَغْفِرْ تَغْفِرْ جَمًّا، لَيْتَنِي كُنْتُ غَسَّالاً أَعِيْشُ بِمَا أَكْتَسِبُ يَوْماً بِيَوْمٍ
"Yaa Allah, jika engkau mengampuniku maka berilah pengampunanMu yang luas, seandainya aku hanyalah seorang tukang cuci, aku hidup dari hasil penghasilanku sehari untuk kehidupan sehari"
Dan diriwayatkan bahwsanya tatkala Khalifah Abdul Malik bin Marwan sakit parah maka iapun berkata, "Keluarkanlah aku di beranda istana…", kemudian ia melihat megahnya kekuasaannya lalu iapun berkata, يَا دُنْيَا مَا أَطْيَبَكِ أَنَّ طَوِيْلَكِ لَقَصِيْرٌ وَأَنَّ كَبِيْرَكِ لَحَقِيْرٌ وَأَنْ كُنَّا مِنْكِ لَفِي غُرُوْرٍ "Wahai dunia sungguh indah engkau…, ternyata lamanya waktumu sangatlah singkat, kebesaranmu sungguh merupakan kehinaan, dan kami ternyata telah terpedaya olehmu". Lalu iapun mengucapkan dua bait berikut ini ;
إِنْ تُنَاقِشْ يَكُنْ نِقَاشُكَ يَارَبَّ  عَذَابًا لاَ طَوْقَ لِي بِالْعَذَابِ
Jika engkau menyidangku wahai Robku maka persidanganMu itu merupakan sebuah adzab yang tidak mampu aku hadapi
أَوْ تَجَاوَزْتَ فَأَنْتَ رَبٌّ صَفُوْحٌ  عَنْ مُسِيْءٍ ذُنُوْبَهُ كَالتُّرَابِ
Atau jika engkau memaafkan aku maka engkau adalah Tuhan Yang Maha memaafkan dosa-dosa seorang hamba yang bersalah"
(Lihat Mukhtashor Taariikh Dimasyq 5/88-89 dan Al-Kaamil fi At-Taariikh 4/238-239)
Para pembaca yang budiman…. Janganlah terpedaya dengan gemerlapnya dunia ini…
Rasulullah bersabda,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
"Perbanyaklah kalian mengingat penghancur keledzatan", yaitu kematian (Dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam irwaa al-goliil 3/145)
Imam Al-Qurthubi berkata: "Ketahuilah sesungguhnya mengingat kematian menyebabkan kegelisahan dalam kehidupan dunia yang akan sirna ini, dan menyebabkan kita untuk senantiasa mengarah ke kehidupan akhirat yang abadi.
Seseorang tidak akan terlepas dari dua kondisi, kondisi lapang dan sulit, kondisi di atas kenikmatan atau di atas ujian. Jika ia berada pada kondisi sempit dan di atas ujian maka dengan mengingat mati akan terasa ringanlah sebagian ujian dan kesempitan hidupnya, karena ujian tersebut tidak akan langgeng dan kematian lebih berat dari ujian tersebut. Atau jika ia berada dalam kondisi penuh kenikmatan maka mengingat mati akan menghalanginya agar tidak terpedaya dengan kenikmatan tersebut"  (At-Tadzkiroh 1/123-124)
Imam Al-Qurthubi juga berkata:
و كان يزيد الرقاشي يقول لنفسه : و يحك يا يزيد من ذا يصلي عنك بعد الموت ؟ من ذا يصوم عنك بعد الموت؟ من ذا يترضى عنك ربَّك بعد الموت؟ ثم يقول : أيها الناس ألا تبكون وتنوحون على أنفسكم باقي حياتكم؟ من الموت طالبه والقبر بيته والثرى فراشه والدود أنيسه وهو مع هذا ينتظر الفزع الأكبر يكون حاله؟ ثم يبكي حتى يسقط مغشيا عليه
Yazzid Ar-Ruqoosyi berkata kepada dirinya : "Celaka engkau wahai Yaziid, siapakah yang akan sholat mewakilimu jika engkau telah meninggal?, siapakah yang akan mewakilimu berpuasa setelah kematianmu?, siapakah yang mendoakan engkau agar Robmu meridhoimu setelah matimu?". Lalu ia berkata, "Wahai manusia, janganlah kalian menangisi diri kalian sepanjang hidup kalian, barangsiapa yang kematian mencarinya, kuburan merupakan rumahnya, tanah merupakan tempat tidurnya, dan ulat-ulat menemaninya, serta ia dalam kondisi demikian menantikan tibanya hari kiamat yang sangat dahysat maka bagaimanakah kondisinya?". Lalu iapun menangis dan menangis hingga jatuh pingsan. (Lihat At-Tadzikorh 1/124)

Kisah penutup :
Dari Abdullah putra Imam Ahmad bin Hambal berkata:
لَمَّا حَضَرَتْ أَبِي الْوَفَاةُ جَلَسْتُ عِنده وَبِيَدِي الْخِرْقَةُ لأَشُدَّ بِهَا لِحْيَيْهِ فَجَعَلَ يَعْرَقُ ثُمَّ يُفِيْقُ ثُمَّ يفتح عينيه ويقول بيده هكذا : "لاَ بَعْدُ" ففعل هذا مرةً وثانيةً، فلما كان في الثالثة قلت له : يَا أَبَةِ أَيُّ شَيْءٍ هَذَا قَدْ لَهَجْتَ بِهِ فِي هَذَا الْوَقْتِ تَعْرَقُ حَتَّى نَقُوْلُ قَدْ قُبِضْتَ ثُمَّ تَعُوْدُ فَتَقُوْلَ : لاَ، لاَ بَعْدُ. فقال لي : يا بُنَيَّ مَا تَدْرِي؟ قلتُ :لاَ، قال : إبليس لعنه الله قائم حذائي عَاضٍّ على أَنَامِلِهِ يقول لي : يا أحمدُ فُتَّنِي فَأَقُوْلُ لَهَ : لاَ بَعْدُ حَتَّى أَمُوْتَ
Tatkala kematian mendatangi ayahku maka akupun duduk disampingnya, dan di tanganku ada sepotong kain untuk mengikat dagu beliau (yang dalam keadaan tidak sadarkan diri). Maka beliaupun mencucurkan keringat lalu beliau tersadar dan membuka kedua mata beliau dan beliau berkata, "Tidak, belum…!" seraya menggerakkan tangan beliau (memberi isyarat penolakan). Lalu beliau melakukan hal yang sama untuk sekali lagi, kedua kali lagi. Dan tatkala beliau mengulangi hal ini (mengucapkan : "Tidak, belum..!, seraya menebaskan tangan beliau) untuk ketiga kalinya maka akupun berkata, "Wahai ayahanda, ada apa gerangan?, engkau mengucapkan perkataan ini dalam kondisi seperti ini?". Engkau mencucurkan keringat hingga kami menyangka bahwa engkau telah meninggal dunia, akan tetapi kembali engkau berkata, "Tidak, tidak…, belum…!". Lalu ia berkata, "Wahai putraku, engkau tidak tahu?", aku berkata, "Tidak". Ia berkata, "Iblis –semoga Allah melaknatnya- telah berdiri dihadapanku seraya menggigit jari-jarinya, dan berkata, "Wahai Ahmad engkau telah lolos dariku", maka aku berkata kepadanya, "Tidak, belum, aku belum lolos dan menang darimu hingga aku meninggal" (lihat Sifat As-Sofwah 2/357)
Kisah ini mengingatkan kepada kita bahwasanya pertempuran melawan Iblis dan para pengikutnya tidak pernah berhenti hingga maut menjemput kita. kita tidak boleh pernah lalai dan merasa telah mengalahkan Iblis, karena Iblis dan para pengikutnya akan senantiasa mengintai dan mencari celah-celah untuk menjeremuskan kita sehingga bisa menemaninya di neraka Jahannam yang sangat panas….!!!!, Maka wasapadalah selalu… melawan musuh yang melihatmu padahal engkau tidak melihatnya… musuh yang senantiasa mendatangimu dari arah depan, belakang, kanan, dan kiri sementara engkau dalam keadaan lalai…. Musuh yang sudah sangat berpengalaman dalam menjerumuskan anak keturunan Adam dengan berbagai metode dan jerat…. Hanya kepada Allahlah kita mohon keselamatan dari musuh yang seperti ini modelnya… walaa haulaa wa laa quwwata illaa billaaah

Saudaraku yang mulia…!!
Allah Yang Maha Mulia telah memberlakukan sunnatullahNya bahwasanya: “Orang yang hidup di atas sesuatu pola/model kehidupan maka ia pun akan mati di atas model tersebut, dan kelak ia akan dibangkitkan di atas model tersebut”
Siapkanlah dirimu menyambut tamu yang akan mendatangimu secara tiba-tiba…yaitu kematian, jangan sampai tamu tersebut menemuimu dalam kondisi engkau sedang bermaksiat kepada Robmu.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengamalkan ilmunya.

Madinah, 28 06 1432H / 31 05 2011M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Senin, 13 Juni 2011

1001 Cara Untuk Taqlid Buta

Dalam kitab Min Athyabil Minnah Fii Ilmil Mushtalah (1/81-82), karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad dan Syaikh ‘Abdul Karim Murad -hafizhahumallah- dinukil pemaparan seorang ulama yang prihatin akan banyaknya ulama di zaman beliau yang taqlid buta terhadap madzhab. Beliau adalah Syaikh Shalih bin Muhammad Al Fulani Al Madini (wafat tahun 1218 H) -rahimahullah- dalam kitabnya, Iiqazhul Himam, beliau menceritakan betapa seorang ulama yang terjerumus dalam taqlid buta akan selalu mencari cara untuk membela pendapat madzhabnya. Beliau berkata:
ترى بعض الناس اذا وجد حديثا يوافق مذهبه فرح به وانقاد له و سلم
“Engkau lihat sendiri, sebagian orang ketika mendapatkan hadits yang sesuai dengan pendapat madzhabnya, ia gembira sekali. Ia pun patuh pada hadits tersebut dan menerima dengan senang hati”.
و ان وجد حديثا صحيحا سالما من معارضة والنسخ مؤيدا لمذهب غير امامه فتح له باب الاحتمالات البعيدة وضرب عنه الصفح و العارض و يلتمس لمذهب إمامه أوجها من الترجيح مع مخالفته للصحابة و التابعين والنص الصريح
“Namun ketika ia menemukan hadits shahih, tidak bertentangan dengan dalil lain, tidak mansukh, dan bertentangan dengan pendapat imamnya, ia pun mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang jauh. Lalu membuat seolah hadits tersebut bertentangan dengan dalil lain. Kemudian merumuskan poin-poin tarjih yang menguatkan pendapat madzhab-nya walaupun bertolak belakang dengan pendapat sahabat Nabi, pendapat para tabi’in serta nash yang sharih (tegas)”
و ان شرح  كتابا من كتب الحديث حرف كل حديث خالف مذهبه وإن عجز عن ذلك ادعى النسخ بلا دليل أو الخصوصية أو عدم العمل به أو غير ذلك مما يحضر ذهنه العليل
“Jika ia men-syarah (menjelaskan) sebuah kitab hadits, ia pun menyimpangkan makna setiap hadits yang bertentangan dengan madzhab-nya. Jika maknanya sulit untuk disimpangkan, ia pun mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh, dengan klaim yang tanpa dalil. Atau ia mengklaim bahwa hadits tersebut ada takhshish-nya, atau mengklaim bahwa hadits tersebut tidak perlu diamalkan, atau klaim-klaim yang lain yang muncul dari akalnya yang tidak beres”
وإن عجز عن ذلك ادعى أن إمامه اطلع كل مروي أو جله فما ترك هذا الحديث الشريف إلا وقد اطلع على طعن فيه برأيه المنيف فيتخذ علماء مذهبه أربابا و يفتح لمناقبهم و كراماتهم أبوابا ويعتقد أن من خالف ذلك لم يوفق صوابا
“Jika ia tidak mampu melakukan hal itu, ia pun beralasan bahwa imamnya telah menelaah semua atau sebagian besar riwayatnya. Maka bagaimana mungkin imamnya tidak memakai hadits tersebut, menurutnya ini bukti bahwa imamnya mengkritik hadits tersebut dan ia menggaris-bawahi kehandalan imamnya dalam mengkritik hadits. Kemudian ia seakan menjadikan imamnya sebagai Tuhan. Ia menggembar-gemborkan kisah-kisah serta karomah-karomah imamnya dan berkeyakinan bahwa orang yang berbeda pendapat dengan pendapat imamnya adalah orang yang salah.”
وإن نصح أحد العلماء السنة اتخذه عدوا ولو كانوا قبل ذالك أحبابا
“Jika ada salah seorang ulama sunnah menasehatinya, ia pun seketika itu menganggap ulama tersebut sebagai musuh, walau sebelumnya mereka adalah teman yang saling mencintai”
وإن وجد كتابا من كتب مذهبه المشهورة  يتضمن نصحه و ذم الرأي والتقليد والحث على اتباع الأحاديث نبذه وراء ظهره وأعرض عن امره ونهيه واتخذه حجرا محجورا
“Jika ia menemukan sebuah kitab terkenal dari madzhab-nya, yang berisi nasehat sang ulama sunnah, yaitu mencela berpendapat dengan mengedepankan akal, mencela taqlid, mengajak untuk mengikuti hadits-hadits, ia meletakkan kitab tersebut di belakang punggungnya, berpaling dari perintah dan larangan yang ada di dalamnya, lalu membuat dinding penghalang”

Semoga Allah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua…
Penulis: Ustadz Yulian Purnama
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com

Sudahkah Kita Memahami Rukun Iman?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya dan para pengikutnya.
Pendahuluan
Segala sesuatu memiliki rukun-rukun (pokok-pokok) yang mendasari hal tersebut. Begitu juga dengan keimanan, maka ia juga memiliki pokok-pokok yang menjadi asas atas bagian-bagiannya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah dan rasulNya telah menjelaskan kepada kita bahwa rukun dari keimanan itu adalah: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasul, hari akhir dan iman pada takdir. Allah berfirman,
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …” (Al Baqarah: 177).
Tentang takdir, Allah berfirman,
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al Qomar: 49)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda dalam sebuah hadist saat menjawab pertanyaan Jibril ‘alaihissalam tentang keimanan, Keimanan adalah engkau beriman kepada Allah, dan para malaikatNya, dan kitab-kitabNya, dan para rasulNya, dan hari akhir, dan engkau beriman pada takdir baik yang baik maupun yang buruk [1].
Itulah keenam rukun iman, karena kedudukannya yang penting dalam keimanan, yaitu sebagai pokok-pokoknya, maka hendaknya kita memahami enam hal tersebut dengan baik. Berikut penjelasan singkat tentang keenam rukun tersebut. Semoga bermanfaat.
Rukun Pertama: Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah meliputi empat hal: wujudiyah, rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat.
1. Mengimani Wujudiyah (Keberadaan) Allah
Tentang keberandaan Allah maka hal tersebut ditunjukkan banyak dalil, baik secara fitrah, akal, nash (syar’i), maupun dalil-dalil dari panca indra.
Pertama, dalil fitrah. Secara fitrah semua makhluq termasuk manusia meyakini adanya penciptanya tanpa harus berfikir maupun belajar sebelumnya. Fitrah ini tidak akan menyimpang jika tidak ada yang merubah atau mempengaruhinya. Sebagaiman sabda rasulullah, “Tidaklah setiap bayi yang lahir kecuali dilahirkan diatas fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, nashrani maupun majusi” [2].
Kedua, dalil akal. Bahwasanya seluruh makhluq yang ada di alam semesta ini pasti ada yang sang penciptanya. Tidak mungkin makhluq tersebut menciptakan dirinya sendiri atau tiba-tiba ada dengan sendirinya, sehingga Allah berfirman,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (ath Thuur:35)
Suatu hal yang menarik berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh sahabat Jubair –pada waktu itu ia masih kafir- saat mendengar rasulullah membaca ayat ini, dia mengatakan , “Seakan-akan hatiku mau terbang, dan itulah saat keimanan mulia bersemayam dalam hatiku” [3].
Ketiga, dalil nash (syar’i). Kitab-kitab samawi (yang diturunkan Allah dari langit) semuanya menjelaskan tentang keberadaan Allah. Hal ini kiranya tidak perlu diragukan lagi.
Keempat, dalil pancaindra. Salah satunya, yaitu dikabulkannya do’a. Hal ini menunjukkan adanya Dzat yang Maha mendengar dan mengabulkan permintaan orang-orang yang berdo’a. Sebagaimana kisah tentang seorang Arab badui yang mendatangi Nabi saat berkhutbah, meminta agar Allah menurunkan hujan, maka Nabi pun berdo’a dan Allah pun menurunkan hujan . Hal tersebut disaksikan manusia pada waktu itu. Mu’jizat para nabi yang disaksikan oleh manusia di zamannya juga menunjukkan akan adanya Allah. Seperti mu’jizat nabi Musa yang membelah laut merah dengan tongkatnya, nabi ‘Isa yang mampu menghidupkan orang yang sudah mati, dan juga nabi-nabi yang lainnya. Lihatlah saat orang-orang Quraish meminta nabi Muhammad bukti (bahwa ia seorang nabi), lalu nabi Muhammad pun mengisyaratkan kepada bulan dan terbelahlah bulan dan manusia di waktu itu menyaksikannya, sebagaimana firman Allah,
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan” (Al Qomar:1)
2. Mengimani Rububiyah Allah
Yaitu meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan, tidak ada sekutu bagiNya. Yang dimaksud dengan Tuhan, yaitu Dzat yang menciptakan, memiliki, mengatur, dan memerintahkan alam semesta.
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al A’raaf:54)
Tidak ada satu makhluq pun yang menginkari kerububiyahan Allah subhana wa ta’ala kecuali orang-orang yang sombong, yang lisannya mengingkari padahal hatinya meyakini, semisal Fir’aun dan semisalnya. Allah befirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An Naml:14)
3. Mengimani keuluhiyahan Allah
Yaitu menyakini bahwasannya hanya Dia saja satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu baginya. Allah berfirman,
وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhan yang engkau sembah adalah sesembahan yang Maha Esa, tidak ada sesembahan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al Baqarah: 163)
4. Asma’ wa Sifat
Yaitu menetapkan nama atau sifat yang telah Allah tetapkan bagi diriNya dalam kitabNya atau dalam sunnah rasulNya sesuai apa yang disampaikan tanpa melakukan tahrif (menyimpangkan makna), ta’thil (menolak), takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluq). Allah berfirman,
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al A’raaf: 180)
Allah juga berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (asy Syuura:11)
Rukun Kedua: Iman Kepada Malaikat
Malaikat adalah makhluq yang telah Allah ciptakan dari cahaya, yang mereka itu ta’at kepada Allah secara sempurna. Allah berfirman tentang mereka,
وَلَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِندَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (al Anbiyaa’: 19)
Jumlah mereka tidak terbatas, tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi dimi’rajkan, diperlihatkan kepadanya Baitul Makmur yang setiap harinya ada 70 ribu malaikat yang shalat didalamnya dan saat mereka keluar tidak kembali lagi kedalamnya [4].
Iman kepada malaikat meliputi empat perkara:
1. Iman terhadap keberadaanya
2. Iman terhadap nama-nama mereka yang diketahui seperti Jibril, Mikail dan lainnya. Yang tidak diketahui namanya kita imani secara ijmal/global.
3. Iman terhadap sifat-sifat mereka yang kita ketahui. Seperti sifat malaikat Jibril yang memiliki 600 sayap yang mampu menutupi ufuk. Mengimani bahwa dengan izin Allah mereka dapat menjelma dalam bentuk yang lainnya, seperti Jibril yang berubah menjadi seorang laki-laki yang bertanya pada rasulullah tentang islam, iman, dan ihsan [5]
4. Iman terhadap pekerjaan/tugas yang mereka emban yang kita ketahui. Seperti Jibril sebagai penyampai wahyu, Mikail yang menurunkan hujan, Israafil yang meniup sangkakala di hari kiamat kelak, Malaikat Maut yang mencabut nyawa, Malik penjaga neraka, dua malaikat yang mencatat amal manusia dan lainnya.
Rukun Ketiga: Iman Kepada Kitab-KitabNya
Yaitu mengimani kitab yang telah Allah turunkan kepada para rasulNya, sebagai rahmat dan petunjuk bagi umatnya agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Iman terhadap kitab ini terdiri dari empat hal:
1. Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut turunnya benar dari sisi Allah
2. Mengimani nama-nama yang kita ketahui seperti al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, Taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan pada Nabi ‘Isa, dan Zabur yang diturunkan pada Nabi Dawud. Adapun yang tidak diketahui namanya kita imani secara global.
3. Membenarkan khabar yang benar padanya, seperti khabar dalam Al Qur’an dan juga khabar yang belum diubah/disimpangkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
4. Mengamalkan hukum yang terdapat didalamnya yang belum di nashakh/dihapus hukumnya serta ridho dan tunduk padanya baik mengetahui hikmahnya atau tidak. Seluruh kitab sebelumnya telah di mansukh oleh Al Qur’an. Allah berfirman,
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (al Ma’idah: 48)
Rukun Keempat: Iman Kepada para RasulNya
Yaitu mengimani para rasul, manusia yang diberi wahyu berupa syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Yang pertama adalah Nabi Nuh dan yang terakhirnya adalah Nabi Muhammad. Allah berfirman,
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (an Nisa: 163)
Iman kepada para rasul mencakup empat hal:
1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah
2. Mengimani nama-nama mereka yang diketahui seperti Muhammad, Nuh, Ibrahim, dan lainnya. Adapun yang tidak diketahui namanya kita imani secara global
3. Membenarkan khabar yang benar dari mereka
4. Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita, yaitu nabi yang terakhir, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, yang diutus untuk seluruh manusia. Allah berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an Nisa: 65)
Rukun Kelima: Iman Kepada Hari Akhir
Yang dimaksud mengimani hari akhir, yaitu mengimani hari qiyamat, hari dimana manusia dibangkitkan untuk dihisab dan diberi balasan atas apa yang telah dikerjakan di dunia. Disebut hari akhir karena tidak ada hari setelahnya. Iman kepada hari akhir meliputi tiga perkara:
1. Iman kepada hari kebangkitan (Al Ba’ats)
Hari dimana orang-orang yang sudah mati dibangkitkan, yaitu saat ditiup sangkakala untuk kedua kalinya, seluruh manusia berdiri menghadap Rabbul ‘alamin dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan tidak berkhitan. Hari kebangkitan adalah sesuatu yang pasti terjadi, dalil-dalil dalam Kitab dan Sunnah dan ijma’ kaum muslimin menunjukkan akan hal itu. Allah berfirman,
ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ
“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (al Mu’minun: 16)
2. Iman kepada hisab (hari penghitungan amal) dan jaza’ (balasan atas apa yang dikerjakan)
Allah berfirman,
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُم ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (al Ghaasyiyah: 25-26)
3. Iman kepada Jannah dan Naar
Keduanya adalah dua tempat kembali yang abadi bagi makhluq-makhluqNya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan di dunia.
Termasuk kandungan dari beriman kepada hari akhir adalah beriman dengan apa yang terjadi setelah kematian baik fitnah kubur, ni’mat kubur, maupun adzab kubur [6]. Yang dimaksud dengan fitnah kubur adalah pertanyaan dua malaikat kepada mayit yang telah dikubur tentang siapa Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa nabimu. Nikmat dan adzab kubur adalah sesuatu yang haq, yang ditunjukkan oleh dalil-dali dari al Qur’an dan sunnah. Allah berfirman tentang fir’aun dan kerabatnya,
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوّاً وَعَشِيّاً وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang , dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”.(al Mu’min: 46)
Rukun Keenam: Iman Kepada Takdir yang baik maupun buruk
Beriman kepada takdir meliputi empat perkara:
1. Al Ilmu : mengimani bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi baik secara global maupun terperinci, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi.
2. Al Kitabah: mengimani bahwa Allah telah mencatat takdir atas segala sesuatu di lauhul mahfudz. Tentang dua hal ini (al Ilmu dan al Kitabah) Allah berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70)
3. Al Masyi’ah: mengimani bahwa terjadinya segala sesuatu atas kehendak Allah.
4. Al Khaaliq: mengimani bahwa Allah adalah pencipta atas segala sesuatu, Dia yang menciptakan makhluq dan juga perbuatan makhluq tersebut. Allah berfirman,
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al Furqan: 2)
Beriman kepada takdir sesuai dengan apa yang dijelaskan di atas, hal tersebut tidak mengingkari adanya masyi’ah (kehendak) makhluq atas apa yang mereka pilih dan mereka kerjakan. Hal ini sesuai dengan dalil-dalil syar’I yang ada dan juga sesuai dengan kenyataan. Setiap manusia pasti mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan, dengan keduanya mereka melalukan dan meninggalkan sesuatu. Tetapi kehendak dan kemampuan makhluq terjadi atas kehendak Allah. Untuk itu Allah berfirman,
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At Takwir: 28-29)
Semoga bermanfaat, Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulallah serta keluarga dan sahabatnya.
Tulisan ini banyak mengambil manfaat dari kutaib “Syarhul Ushuulul Imaan” karangan Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah.
Selesai ditulis di Riyadh, 10 Rajab 1432 H (12 Juni 2011).
Abu Zakariya Sutrisno
Artikel: www.thaybah.or.id / www.ukhuwahislamiah.com
Notes:
[1]. HR Muslim dari sahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
[2]. HR Bukhari
[3]. Diriwayatkan Bukhari
[4]. HR Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
[5]. HR Muslim dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu
[6]. Sebagai mana dalam hadist Bara’ bin Azib yang menceritakan perjalanan ruh setelah kematian. HR Ahmad dan Abu Dawud dalam hadist yang panjang

Hanya Boleh Hasad pada Dua Orang

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Kata Ibnu Taimiyah, “Hasad adalah sekedar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.”[1] Hasad seperti inilah yang tercela. Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut oleh para ulama dengan ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi. Bagaimanakah bentuk ghibtoh atau iri yang dibolehkan? Simak dalam tulisan sederhana berikut ini.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”[2]
Tentang Ghibtoh
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan hasad yang tercela.”[3] Ibnu Baththol mengatakan pula, “Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula, pen), maka seharusnya seseorang ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.“[4]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud hadits di atas adalah tidak ada keringanan pada hasad kecuali pada dua hal atau maksudnya pula adalah tidak ada hasad yang baik (jika memang benar ada hasad yang baik). Disebut hasad di sini dengan maksud hiperbolis, yaitu untuk memotivasi seseorang untuk meraih dua hal tersebut. Sebagaimana seseorang katakan bahwa hal ini tidak bisa digapai kecuali dengan jalan yang keliru sekali pun. Dimotivasi seperti ini karena adanya keutamaan jika seseorang menggapai dua hal tersebut. Jika jalan yang keliru saja ditempuh, bagaimana lagi jika jalan yang terpuji yang diambil dan mungkin tercapai. Intinya masalah ghibtoh ini sejenis dengan firman Allah,
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات
Berlomba-lombalah dalam kebaikan.[5] Karena musobaqoh yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah berlomba-lomba dalam kebaikan, siapakah nantinya yang terdepan.
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Sedangkan maksud dari hadits di atas adalah tidak ada ghibtoh (hasad yang disukai) kecuali pada dua hal atau yang semakna dengan itu.”[6]
Pengertian Hikmah
Yang dimaksud dengan hikmah, ada beberapa pengertian:
  1. Al Qur’an[7].
  2. As Sunnah.
  3. Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan yang dimaksud “fiqh fid diin”, paham agama adalah memahami nasikh, mansukh, muhkam dan mutasyabih.
  4. Lurus dalam perkataan dan perbuatan.
  5. Peringatan (nasehat) dari Al Qur’an.
  6. Memahami dan mengilmui.
  7. Kenabian.
  8. Segala hal yang menghalangi dari hal yang jelek.
  9. Segala hal yang menghalangi dari kebodohan.[8]
Faedah Lain
Ada faedah lain dari hadits di atas:
Pertama: Mulianya mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), menempuh berbagai cara untuk memahaminya, juga keutamaan mengajarkannya pada orang lain dalam rangka mengharapkan wajah Allah. Inilah yang menyebabkan seseorang boleh iri (ghibtoh) padanya, artinya ingin seperti itu.
Kedua: Keutamaan berinfak dari usaha yang halal pada berbagai jalan kebaikan. Contohnya di sini adalah infak untuk pembangunan masjid, madrasah, pencetakan kitab ilmu (seperti kitab tauhid, fiqh, tafsir, dan bantahan untuk hali bid’ah, kitab bahasa Arab), dan jalan kebaikan lainnya.
Ketiga: Dalam lafazh hadits “آتاه الله مالاً”, seseorang yang Allah beri karunia harta, maka ini menunjukkan bahwa harta itu sebenarnya datang dari Allah. Allah mengkaruniakan harta tersebut pada siapa saja yang Allah kehendaki. Allah pun tidak memberikannya pada seseorang sesuai dengan kehendaknya. Barangsiapa yang Allah beri karunia harta, maka hendaklah ia bersyukur dengan menuniakan hak Allah. Janganlah ia gunakan nikmat harta tersebut untuk bermaksiat. Sedangkan orang yang disempitkan dalam masalah harta, hendaklah ia bersabar dan tetap menempuh jalan rizki yang Allah halalkan. Janganlah sampai  ia malah menempuh jalan yang Allah haramkan karena kesulitan finansial yang ia hadapi.
Keempat: Dalam lafazh hadits “ورجل آتاه الله الحكمة”, seseorang yang Allah beri karunia ilmu, ini menunjukkan bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah yang Allah beri kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Akan tetapi ilmu itu diperoleh dengan dicari, perlu ada kesungguhan dalam menghafal, memahami, mengulang dan menyampaikannya pada yang lain. Cahaya ilmu ini diperoleh dengan kesungguhan berharap dan meminta pada Allah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Katakanlah: Ya Rabbku, berikanlah padaku ilmu.[9] Disebutkan dalam hadits,
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
Ilmu itu diperoleh dengan belajar.”[10]
Kelima: Kenikmatan dunia yang begitu melimpah bukanlah hal yang patut seseorang ghibtoh (berlomba-lomba untuk memperolehnya) kecuali jika ada maksud untuk amal kebaikan. Namun hal ini berbalik dengan kelakuan kebanyakan orang, mereka malah senangnya berlomba-lomba untuk memperoleh dunia. Tidak ada rasa keinginan dari mereka untuk memperoleh ilmu dan iman dari para ulama (orang yang berilmu).
Keenam: Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan pada yang lain. Sedangkan ilmu yang hanya dipelajari saja tanpa diamalkan adalah ilmu yang hanya jadi petaka untuknya, wal ‘iyadzu billah.
Ketujuh: Harta yang bermanfaat bagi pemiliknya adalah harta yang diperoleh dengan jalan yang halal, lalu disalurkan pada nafkahh yang wajib untuk diri dan keluarga secara ma’ruf (wajar). Harta itu pun disalurkan untuk zakat yang wajib dan sedekah kepada fakir miskin, juga disalurkan untuk menyambung hubungan kerabat.[11]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Riyadh-KSA, 21 Rabi’ul Awwal 1432 H (24/02/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Amrodhul Qulub wa Syifauha, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1424 H [2] HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816
[3] Syarh Al Bukhori, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/153
[4] Idem
[5] QS. Al Baqarah: 148.
[6] Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’, Beirut, 1392, 6/97
[7] Sebagaimana terdapat pada riwayat lain dari hadits di atas.
[8] Disebutkan oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Fiqh Al Hasad, terbitan Dar As Sunnah, hal. 18-19.
[9] QS. Thaha: 114
[10] Disebutkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), lalu Abu Bakr bin Abi ‘Ashim menyambungkannya (mawshul).
[11] Faedah ini diperoleh dari tulisan Syaikh ‘Ali bin Yahya Al Haddadi tentang hadits fadhilah ‘amal dalam shahihain yang beliau kumpulkan dan beliau beri komentar. Lihat di sini.

Sabtu, 11 Juni 2011

Seputar Hukum Nadzar

Ketika si anak tercinta ingin menjalani ujian akhir nasional, kita sering perhatikan bahwa orang tua atau si anak sendiri bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan berpuasa selama seminggu.” Ketika ada yang mengajukan apply ke suatu perusahaan, ia pun bernadzar, “Jika saya diterima di perusahaan tersebut, saya bernadzar untuk umroh pada bulan Ramadhan besok.” Inilah di antara contoh nadzar.
Nadzar berarti mewajibkan pada diri sendiri suatu perkara yang sebenarnya tidak wajib. Penjelasan nadzar secara detail dapat ditelusuri dalam artikel sederhana berikut ini.
Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
Janganlah bernadzar. Karena nadzar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
Sungguh nadzar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nadzar itulah yang Allah takdirkan. Nadzar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernadzar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nadzar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan bernadzar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nadzar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nadzar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya,
إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nadzar tersebut. Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …
Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang bernadzar lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan nadzar.
Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum nadzar adalah sunnah.
Kompromi Pendapat
Jika kita melihat dua pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan yang lainnya sunnah. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit problema. Padahal kita ketahui bersama ada kaedah, wasilah (perantara) kepada ketaatan, maka bernilai ketaatan dan wasilah pada maksiat, maka bernilai maksiat. Lalu kenapa berniat nadzar bisa jadi makruh, padahal penunaiannya wajib?!
Cara kompromi yang lebih baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah kita katakan bahwa  nadzar itu ada dua macam:
Pertama, nadzar mu’allaq untuk memperoleh manfaat. Maksud nadzar ini adalah dengan bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan ketaatan. Contohnya, seseorang yang bernadzar, “Jika Allah menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka saya akan bersedekah sebesar Rp.2.000.000.”
Kedua, nadzar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya, seseorang yang bernadzar, “Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk masjid sebesar Rp.2.000.000”.
Kita katakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk bernadzar dimaksudkan untuk nadzar macam yang pertama. Karena nadzar macam pertama sebenarnya dilakukan tidak ikhlas pada Allah, tujuannya hanyalah agar orang yang bernadzar mendapatkan manfaat. Orang yang bernadzar dengan macam yang pertama hanyalah mau bersedekah ketika penyakitnya sembuh. Jika tidak sembuh, ia tidak bersedekah. Itulah mengapa dalam hadits disebut orang yang pelit (bakhil).
Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernadzar sebagaimana disebut dalam hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan nadzar itu pasti terwujud ketika seseorang bernadzar atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud nadzar karena nadzar taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nadzar sama sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
Nadzar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh nadzar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nadzar adalah larangan irsyad (alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang lebih afdhol, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti mewajibkan diri dengan bernadzar. Atau kita bisa bernadzar dengan nadzar yang tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernadzar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat, namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.
Macam Nadzar dan Hukumnya
Nadzar dilihat dari hal yang dinadzari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:
Pertama, nadzar taat.
Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernadzar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernadzar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nadzar karena hal tersebut sudah wajib. Begitu pula seseorang bernadzar untuk mengenakan jilbab, itu juga tidak teranggap nadzar. Karena mengenakan jilbab sudahlah wajib berdasarkan dalil wajib dari Al Qur’an dan ancaman dalam berbagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nadzar.
Hukum penunaian nadzar taat
Hukum penunaiannya adalah wajib, baik nadzar tersebut nadzar mu’allaq atau nadzar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nadzar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)
Dalil lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »
Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernadzar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah nadzarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)
Jika nadzar tidak mampu ditunaikan
Jika nadzar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nadzar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernadzar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nadzar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernadzar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nadzar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah:
  1. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
  2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
  3. Memerdekakan satu orang budak
Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. (Lihat Surat Al Maidah ayat 89)
Kedua, nadzar yang bukan bentuk taat.
Nadzar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) nadzar mubah, (2) nadzar maksiat.
(1) Nadzar mubah
Seperti seseorang bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nadzar seperti ini bukanlah nadzar taat, namun nadzar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nadzar.
(2) Nadzar maksiat
Seperti seseorang bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.” Nadzar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,
النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين
Nadzar itu ada dua macam. Jika nadzarnya adalah nadzar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nadzarnya adalah nadzar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Referensi:
Min’atul Mun’im fii Syarh Shahih Muslim, Shofiyurrahman Al Mubarakfuri, terbitan Darul Salam, cetakan pertama, 1420 H, 3/96-96
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/315-331
Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 3 Jumadats Tsaniyah 1432 H (06/05/2011)
Artikel Kajian Bubur Ayam di Masjid Al Kautsar-Pogung Baru, Jogja
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Tidak Bisa Ibadah Tapi Dapat Pahala Ibadah

Sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا
Artinya: “Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” [HR. Bukhari]
Ini adalah sebuah nikmat yang besar yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman. Yaitu jika seorang hamba terbiasa melakukan sebuah amal ibadah sunnah secara kontinu, kemudian suatu kala ia terhalang untuk melakukannya dikarenakan sakit atau safar, maka pada saat itu ia mendapat pahala ibadah tersebut secara utuh (!!)
Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui bahwa jika hamba-Nya tersebut tidak memiliki udzur (halangan) ia akan melakukan ibadah tersebut. Dalam hal ini, secara khusus untuk orang sakit, Allah memberi pahala karena niat orang tersebut. Selain itu juga secara umum, orang tersebut bisa mendapatkan pahala karena telah menunaikan kewajibannya untuk bersabar menghadapi sakitnya, bahkan pahalanya lebih sempurna jika ia ridha dan bersyukur dalam menghadapinya serta merendahkan diri terhadap Allah Ta’ala.
Demikian pula seorang musafir, ia mendapatkan pahala atas amal-amal kebaikan yang ia lakukan saat dalam perjalanan. Semisal, memberi pengajian, nasihat, atau bimbingan kepada orang lain dalam hal agama ataupun dalam masalah duniawi. Secara khusus juga, seorang musafir diberi pahala jika perjalanan yang ia tempuh dalam rangka kebaikan. Seperti safar dalam rangka jihad, haji, umroh atau semisalnya.
Hadits ini juga mencakup pembahasan tentang orang yang beribadah namun terhalang untuk melakukannya dengan sempurna karena suatu udzur. Maka Allah Ta’ala akan menyempurnakan pahala bagi orang tersebut dikarenakan niatnya. Karena uzur yang membuatnya terhalang untuk melakukan ibadah dengan sempurna dapat dikatakan sebagai salah satu jenis penyakit dalam hadits ini. Wallahu’alam.
Hadits ini juga mencakup pembahasan tentang orang yang memiliki niat untuk melakukan amalan yang baik, namun ia terhalang untuk melakukannya karena ia melakukan amalan lain yang lebih baik dari amalan pertama. Dan orang tersebut tidak dapat melakukan kedua amalan tersebut semuanya (harus memilih salah satu). Maka dalam kondisi ini, ia lebih patut untuk diberi pahala yang lebih besar oleh Allah Ta’ala. Namun jika kegiatan lain tersebut tingkat kebaikannya setara dengan kegiatan pertama, maka sungguh karunia Allah Ta’ala sangatlah besar.
[Diterjemahkan dari syarah hadits no.30 dari kitab Bahjatul Qulubil Abrar Wa Qurratu A’yunil Akhyaar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullahuta’ala]

Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Hukum Hormat Bendera

Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir Alu Ubaikan (salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia) berkata,
Di antara permasalahan kontemporer yang perlu ditelaah dengan pemahaman yang cermat adalah permasalahan yang muncul di zaman ini terkait dengan penghormatan terhadap negara dan sistemnya serta penghormatan terhadap symbol negara. Itulah permasalahan hormat bendera.
Yang dimaksud dengan hormat bendera di sini adalah berdiri untuk menghormati bendera. Sebagian orang telah berbicara mengenai hukum permasalahan ini tanpa menilainya dengan melihat akar permasalahannya dan analisis fikih yang tepat. Akibatnya mereka mengeluarkan hukum yang tidak sesuai dengan realita di lapangan dan tidak sesuai dengan maksud atau tujuan orang yang memberikan penghormatan terhadap bendera.
Jika kita melihat, bendera itu pada asalnya adalah benda yang dikerubungi oleh pasukan perang dan peperangan dilakukan di bawah kibarannya. Jadi bendera perang adalah simbol tegaknya kepemimpian seorang panglima perang sehingga jatuhnya bendera perang bermakna kalah perang. Di zaman ini bendera itu menjadi simbol negara yang dikibarkan di berbagai momentum. Dengan menghormati bendera berarti menghormati kepemimpinan pemimpin negara.
Demikian pula, kita perlu menimbang kondisi orang yang memberikan penghormatan kepada bendera. Realitanya mereka tidaklah menghormati jenis kain yang menjadi bahan pembuatan bendera namun mereka menghormati negara yang bendera merupakan simbolnya.
Ulama yang berpendapat bahwa hormat bendera itu bid’ah bermakna bahwa orang yang memberikan penghormatan terhadap bendera beribadah kepada Allah dengan cara ini yaitu hormat bendera. Inilah makna bid’ah dalam hukum syariat. Namun tidak kami jumpai seorang pun yang bermaksud demikian ketika memberikan penghormatan terhadap bendera.
Andai ada orang yang mengatakan bahwa dalam penghormatan terhadap bendera terdapat pengagungan terhadap bendera itu sendiri sebagaimana pengagungan terhadap sesuatu yang disembah. Tidaklah diragukan bahwa hal tersebut adalah kemusyrikan kepada Allah namun kami tidak mengetahui seorang pun yang melakukannya.
Dengan mengkaji ‘illah atau sebab hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan penilaian dalam masalah ini sangatlah jelas bahwa orang yang memberikan penghormatan terhadap bendera tidaklah bermaksud dengan dengan maksud-maksud di atas. Namun maksud penghormatan bendera adalah penghormatan terhadap negara dan simbol negara.
Terkait dengan bendera Kerajaan Saudi Arabia, bendera tersebut memuat kalimat tauhid (laa ilaha illallah) yang wajib dihormati oleh setiap muslim.
Suatu hal yang sudah kita ketahui bersama, dalam hukum syariat penghormatan terhadap makhluk itu jika tidak semisal dengan penghormatan terhadap Allah hukumnya boleh. Dalilnya saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkirim surat kepada Heraklius dalam suratnya Nabi mengatakan, “Dari Muhammad utusan Allah untuk Heraklius seorang yang dihormati oleh bangsa Romawi”. Ketika Saad bin Muadz datang untuk menjatuhkan hukuman kepada Yahudi Bani Quraizhah Nabi bersabda, “Berdirilah kalian-wahai para anshar-untuk pemimpin kalian”.
Berdiri untuk menghormati orang yang datang adalah penghormatan biasa, bukan penghormatan dengan level penghambaan. Sehingga berdiri tersebut tidaklah sampai level pengagungan sebagaimana pengagungan kepada Allah. Penghormatan semisal ini hukumnya boleh diberikan kepada makhluk sebagaimana dalil-dalil di atas”.
Text fatwa:
فإن من النوازل  التي تحتاج إلى فقه دقيق هي ما ظهر في هذا الزمن من مسألة تتعلق باحترام الدولة ونظامها وتعظيم رمزها ألا وهي تحية العلم , والمقصود القيام تعظيماً للعلم وقد تكلم البعض في هذه المسألة  من غير تأصيل ولا تكييف فقهي فأصدروا أحكاماً لها لا تتوافق مع الواقع المحسوس ولا مع ما يقصده من يأتي بالتحية وإذا نظرنا إلى أن العلم أو اللواء في الأصل هو ما تلتف حوله الجيوش وتخاض تحته الحروب فكان رمزاً للقيادة وبسقوطه تحصل الهزيمة , وفي هذا الزمن أصبح العلم هو شعار الدولة فيرفع في المناسبات ويحصل بتعظيمه تعظيم القيادة , وإذا نظرنا إلى حال الذين يقومون بتحية العلم وجدنا أنهم لا يعظمون نوع القماش الذي صنع منه العلم وإنما يعظمون ما هو شعار له, فمن قال من العلماء إن تحية العلم بدعة فإنه يلزم من حكمه أن يكون المحيي للعلم متعبداً لله عز وجل بهذه الوسيلة التي هي تحية العلم وهذا معنى البدعة في الشريعة ولا نجد أحداً يقصد بالتحية هذا المعنى , ولو قال قائل إنه  بهذه التحية يعظم نفس العلم تعظيم عبادة فهذا ولا شك شرك بالله عز وجل لا نعلم أحداً فعله, وبتحقيق المناط يتضح جلياً أن الذي يحيي العلم لا يقصد ما تقدم ذكره وإنما يقصد تعظيم الدولة ورمزها ,وبالنسبة لعلم المملكة العربية السعودية فهو يحوي كلمة التوحيد والتي يجب تعظيمها من كل مسلم , ومن المعلوم شرعاً أن تعظيم المخلوق إذا لم يكن من باب تعظيم الخالق عز وجل فهو جائز كما فعل صلى الله عليه وسلم عندما كتب إلى هرقل فقال( من محمد رسول الله إلى هرقل عظيم الروم) , وقال عندما أقبل سعد بن معاذ رضي الله عنه ليقضي في بني قريظة (قوموا إلى سيدكم) و(القيام تعظيم للقادم تعظيم عادة لا تعظيم عبادة) فهو لا يرتقي إلى درجة تعظيم الخالق وهذا سائغ في حق المخلوق كما جاءت به الأدلة  والله أعلم وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه .
Lihat fatwa tersebut secara lengkap di sini. Baca pula berbagai fatwa ulama tentang hukum hormat bendera di sini.
Silakan para pembaca simpulkan bagaimana hukum hormat bendera dengan menimbang penjelasan Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir Alu Ubaikan di atas.
Wallahu waliyyut taufiq.
Riyadh-KSA, 8 Rajab 1432 H (09/06/2011)
www.muslim.or.id