Kamis, 30 Juni 2011

Hadits 2 Kitab Bulughul Marram (Hukum Asal Air adalah suci) – Selesai

4. Masa’il
Ada beberapa masalah seputar hadits ini, diantaranya:
• Pertama: Pembagian Air dari Sisi Penamaannya
Berdasarkan konteks umum pada hadits ini pula, kalangan fuqaha` Islam membagi air dari tinjauan yang lebih umum menjadi dua bagian. Yaitu air mutlak dan air muqayyad.
  • Air mutlak (المَاءُ المُطْلَقُ) adalah air yang tetap berada pada asal penciptaannya. Yaitu bahwa setiap sifat/karakter air yang Allah ciptakan mengiringi zat air, baik itu sifat panas, dingin, tawar, asin ataukah selainnya. Baik air tersebut tercurah dari langit (hujan, embun dan selainnya) ataukah yang memancar dari dalam tanah (mata air, air laut, sungai dan selainnya). Jika air tersebut berada pada asal sifat air yang diciptakan Allah, maka air tersebut adalah air yang thahur yaitu pada hukum penggunaannya.

Di antara fuqaha Islam ada yang mengatakan dalam menafsirkan air mutlak ini sebagai,“air yang mana sudut pandang pemahaman setiap orang akan sama dalam menilai kemutlakan penamaan air. Semisal pada air sungai, air mata air, air telaga, air hujan dan semisalnya. Dengan demikian diperbolehkan berwudhu` -dan juga mandi- dengan kesemua air tersebut, baik ragam air tersebut berada pada tempatnya masing-masing  ataukah berada pada bejana-bejana air.” Karena perpindahan air tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya tidaklah menggugurkan kemutlakan penamaan air dari air tersebut. Ataukah dapat dibahasakan bahwa air mutlak adalah air yang berlaku penamaan air tanpa adanya indikasi lain yang menjadi sifat lazimnya, semisal bentuk penisbatan pada air bunga.
  • Air muqayyad (المَاءُ المُقَيَّدُ) adalah kebalikan dari air mutlak diatas. Yaitu air yang mana sudut pandang setiap orang tidaklah segera memutuskan adanya kemutlakan penamaan suatu air. Air ini adalah air yang keluar dari perasan sesuatu (sari pati), semisal air perasan kayu, air perasan buah dan bunga dan semisalnya.
Termasuk juga dalam kategori air muqayyad adalah setiap air mutlak yang bercampur dengan zat-zat cair lainnya –baik zat cair tersebut suatu yang thahir atau najis-. Dimana pencampuran zat cair tersebut pada air mutlak sampai pada taraf hilangnya penamaan kemutlakan air, misalnya air cuka, air susu dan selainnya. Air mutlak yang telah mengalami perubahan sifat kemutlakannya tersebut karena bercampur dengan sesuatu yang thahir, hingga percampuran tersebut menghilangkan penamaan kemutlakan air pada suatu air mutlak tidaklah tergolong sebagai air yang thahur. Dengan kata lain, sifat ath-thahuriyah pada air mutlak tersebut telah sirna seiring dengan hilangnya kemutlakan penamaan air padanya, baik kadar air tersebut banyak atau sedikit.
• Kedua: Hukum Thaharah dengan Air Mutlak
Pada dasarnya, jenis air yang diperbolehkan untuk thaharah (wudhu` atau mandi) adalah air yang berada pada kemutlakannya. Berdasarkan beberapa dalil berikut,
Pertama, Firman Allah ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48)
Kedua, hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas.
Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab ash-Shahih beliau, bahwa Nabi bersabda di dalam doa beliau,
“Wahai Allah sucikanlah aku dengan salju, air dan es.”
Keempat, hadits Abu Hurairah tentang hukum pemakaian air laut untuk thaharah, yang telah kita sebutkan pada edisi sebelumnya.
Kelima, konsensus ulama sebagaimana kutipan beberapa ulama
• Ketiga: Pembagian Air Mutlak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian air mutlak ini dalam beberapa pendapat, namun yang rojih bahwa air terbagi menjadi dua bagian; suci mensucikan (thahur) dan air najis. Berdasarkan firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48)
Demikian juga keumuman hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas.
Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di : Maksudnya, hadits ini (hadits Abu Sa’id) menunjukkan air terbagi menjadi dua bagian:
  1. Najis yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, baik sedikit ataupun banyak
  2. Thahur yaitu yang selainnya.
Penetapan jenis ketiga yang tidak thahur dan tidak juga najis bahkan dikatakan thahir tidak berdasarkan dalil syar’i, sehingga tetap berada pada asal kesuciannya (thahuriyah). Keumuman hadits ini dikuatkan dengan firman Allah :
فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. Al-Maaidah: 6)
ini bersifat umum untuk semua air karena nakirah dalam kontek penafian, sehingga mencakup seluruh air dan keluar darinya air najis karena adanya ijma’. (Bahjah Quluub Al-Abraar hlm 136)
sedangkan Syeikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baaz menyatakan: Yang benar, air mutlak terbagi menjadi dua; thahur dan najis. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا [الفرقان: 48]
Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur.” (QS. Al-Furqan: 48) dan firmanNya juga:
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَآءِ مَآءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ اْلأَقْدَامَ
“(Ingatlah), Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).”  (QS. Al-Anfal:11)
Nabi bersabda:
إنَّ المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيءٌ
Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis.”
Maksudnya adalah kecuali yang berubah, rasa, bau atau warnanya karena kecampuran najis, maka ia najis menurut ijma’ ulama. Sedangkan yang tercampur dalam air berupa minuman, daun, atau sejenisnya, maka tidak membuat najis air tersebut dan tidak hilang sifat thahuriyahnya selama masih dinamakan air. Apabila telah berubah penamaan airnya dengan sebab campuran tersebut kepada nama lain seperti susu, kopi, teh dna sejenisnya, maka ia keluar dengan sebab itu dari nama air dan tidak dinamakan air lagi, namun ia tetap suci walaupun adanya campuran ini dan tidak najis. (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat Syeikh Bin Baaz 10/56)
• Keempat: Air Tercampur Benda Suci.
Pencampuran air dengan zat-zat thahir sendiri terbagi atas beberapa kondisi pencampuran yang mengakibatkannya dinisbatkan kepada benda tersebut.
Penisbatan itu diantaranya:
Pertama: Penisbatan yang tidak memberi sifat thaharah pada satu riwayat –yaitu di mazhab Imam Ahmad-. Yang mana terdiri atas tiga jenis,
  1. Air sari pati dari zat yang thahir, semisal sari pati bunga, cengkeh dan termasuk juga tetesan air (getah) dari belahan –kayu- pohon apabila dipotong  dalam keadaan basah.
  2. Zat thahir yang bercampur dengan air hingga merubah penamaan air tersebut ataukah unsur-unsur zat thahir tersebut lebih mendominasi, semisal cuka dan selainnya.
  3. Air yang dipergunakan untuk merebus sesuatu zat yang thahir hingga merubah nama air.
Kedua: Penisbatan yang diperbolehkan untuk berwudhu` pada satu riwayat –dalam mazhab Imam Ahmad-, yang terdiri atas tiga bagian:
  1. Penisbatan yang tidak menyebabkan pencampuran, dan semacam ini tidak terdapat perbedaan diantara ulama.
  2. Pencampuran dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari, semisal tanaman (lumut atau semisalnya) yang  tumbuh di dalam air ataukah dedaunan yang terjatuh ke dalam air.
  3. Pencampuran dengan suatu yang memiliki sifat ath-thahuriyah sebagaimana sifat air itu sendiri. Semisal tanah, yang walau merubah sifat air namun tidak menghalangi sifat ath-thahuriyah air karena kedua-duanya memiliki sifat ath-thahuriyah.
  4. Pencampuran akibat persinggungan dengan air tanpa mengalami penyatuan zat. Semisal krim gel atau zat-zat thahir berbentuk padatan selama tidak melebur dengan air.
• Kelima: Air Mutlak Tercampur najis
Tercampurnya pencampuran air mutlak dengan suatu yang najis, beberapa ulama Islam dari berbagai mazhab menyebutkan adanya konsensus/kesepakatan ulama bahwa air tersebut telah menjadi najis, jika najasah/najis yang berada dalam air telah merubah unsur-unsur dan sifat dasar air.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit atau banyak, apabila suatu najis terjatuh ke dalamnya dan najis tersebut merubah rasa, warna atau aroma air, maka air tersebut dihukumi najis. Berwuhdu` dan mandi dengan air tersebut tidak sah.”
Kutipan yang senada dengan pernyataan Ibnul Mundzir di atas juga disampaikan oleh Ibnu Qudamah serta Ibnu Rusyd dan beliau menambahkan, “Dan mereka –para ulama- sepakat bahwa air dalam kapasitas yang sangat banyak yang tidak mengalami perubahan sifat-sifatnya (akibat adanya najsi pada air tersebut), air yang sangat banyak tersebut hukumnya thahir.”
Asy-Syaukani dalam menguatkan hal di atas mengatakan, “Dan persinggungan langsung (antara air dan najis) bukanlah tolak ukur dan bukan juga sebab berlakunya hukum najis kecuali jika najis tersebut telah merubah sifat-sifat air. Jikalau salah satu dari sifat-sifat dasar air telah mengalami perubahan, maka air telah dihukumi sebagai najis, baik air itu dekat atau berada jauh dari zat najis.”
(Lihat juga pembahasan ini di dalam Al-Hawi Al-Kabir 1/37-39, Al-Mughni 1/13-20, Al-Lubab 1/39-40, Al-Ausath 1/260, Bidayah Al-Mujtahid 1/72, Syarh Al-Muntaha 1/14, Nail Al-Authar 1/190-191, as-Sail Al-Jarrar 1/54, ar-Raudhah an-Nadiyah 1/53, Asy-Syarh Al-Mumti’ 1/24)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar